Bronkopneumonia


LAPORAN PENDAHULUAN "BRONKOPNEUMONIA"

A.        DEFINISI
Pneumonia adalah suatu radang paru yang disebabkan oleh bermacam macam etiologi, seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing. Bronkopneumonia adalah radang paru yang berasal dari cabang-cabang tenggorok yang mengalami infeksi dan tersumbat oleh getah radang, menimbulkan pemadatan-pemadatan bergerombol dalam lobulus paru yang berdekatan, biasanya terjadi akibat batuk rejan, campak, influenza, tifus, dan sebagainya (Ramali Ahmad, 2000).
Pneumonia adalah infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah yang mengenai parenkim paru. Pneumonia pada anak dibedakan menjadi (Bennete, 2013)
1.      Pneumonia lobaris
2.      Pneumonia interstisial (bronkiolitis)
3.      Bronkopneumonia
Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis adalah peradangan pada parenkim paru yang melibatkan bronkus/bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk bercak-bercak (patchy distribution). Konsolidasi bercak berpusat disekitar bronkus yang mengalami peradangan multifokal dan biasanya bilateral. Konsolidasi pneumonia yang tersebar (patchy) ini biasanya mengikuti suatu bronkitis atau bronkiolitis
Bronkopneumonia ditandai dengan lokus konsolidasi radang yang menyebar menyeluruh pada satu atau beberapa lobus. Seringkali bilateral di basal sebab ada kecenderungan sekret untuk turun karena gravitasi ke lobus bawah. lesi yang telah berkembang penuh agak meninggi, kering granuler, abu-abu merah, sampai kuning, dan memiliki batas yang tidak jelas. Ukuran diameter bervariasi antara 3 sampai 4 cm. pengelompokan fokus ini terjadi pada keadaan yang lebih lanjut (florid) yang terlihat sebagai konsolidasi lobular total. Daerah fokus nekrosis (abses) dapat terlihat di antara daerah yang terkena. Substansi paru di sekelilingi daerah konsolidasi biasanya agak hipermi dan edematosa, tetapi daerah yang luas diantaranya pada umumnya normal. Pleuritis fibrinosa atau supuratif terjadi bila fokus peradangan berhubungan dengan pleura, tetapi ini tidak biasa. Dengan meredanya penyakit, konsolidasi dapat larut bila tidak ada pembentukan abses, atau dapat menjadi terorganisasi meninggalkan sisa fokus fibrosis.
Secara histologis, reaksi itu terdiri dari eksudat supuratif yang memenuhi bronki, bronkioli dan rongga alveolar yang berdekatan. Netrofil dominan dalam eksudasi ini dan biasanya hanya didapatkan sejumlah kecil fibrin. Seperti yang diharapkan, abses ditandai oleh nekrosis dari arsitektur dasar.

Klasifikasi Gejala ISPA Untuk Golongan Umur 2 bulan – <5 tahun
a.    Bronkopneumonia sangat berat, adanya batuk atau kesukaran bernafas disertai nafas sesak atau tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (chest indrawing).
b.    Bronkopneumonia berat, adanya batuk atau kesukaran bernafas disertai adanya nafas cepat sesuai umur. Batas nafas cepat ( fast breathing) pada anak umur 2 bulan - <1 tahun adalah 50 kali atau lebih per menit dan untuk anak umur 1 - <5 tahun adalah 40 kali atau lebih permenit.
c.    Bukan bronkopneumonia, batuk tanpa pernafasan cepat atau penarikan dinding dada.

B.        EPIDEMIOLOGI
Pneumonia pada anak merupakan infeksi yang serius dan banyak diderita anak-anak di seluruh dunia yang secara fundamental berbeda dengan pneumonia pada dewasa. Kasus pneumonia di negara berkembang tidak hanya lebih sering didapatkan tetapi juga lebih berat dan banyak menimbulkan kematian pada anak. Insiden puncak pada umur 1-5 tahun dan menurun dengan bertambhanya usia anak. Mortalitas diakibatkan oleh bakteremia oleh karena Streptococcus pneumoniae dan Staphylococcus aureus, tetapi di negara berkemban juga berkaitan dengan malnutrisi dan kurangnya akses perawatan.

C.        ETIOLOGI
Penyebab bronkopneumonia yang biasa dijumpai adalah (Bradley et.al., 2011) :
1. Faktor Infeksi
a.    Pada neonatus: Streptokokus group BRespiratory Sincytial Virus (RSV).
b.    Pada bayi :
·      Virus: Virus parainfluensavirus influenza,Adenovirus, RSV, Cytomegalovirus.
·      Organisme atipikal: Chlamidia trachomatis,Pneumocytis.
·      Bakteri: Streptokokus pneumoniHaemofilus influenzaMycobacterium tuberculosaBordetellapertusis.
c.    Pada anak-anak :
·      Virus : ParainfluensaInfluensa Virus,Adenovirus, RSV
·      Organisme atipikal : Mycoplasma pneumonia
·      Bakteri: PneumokokusMycobakterium tuberculosis
d.   Pada anak besar – dewasa muda :
·      Organisme atipikalMycoplasma pneumoniaC. trachomatis
·      Bakteri: PneumokokusBordetella pertusisM. tuberculosis
2. Faktor Non Infeksi.
Terjadi akibat disfungsi menelan atau refluks esophagus meliputi
:
a.      Bronkopneumonia hidrokarbon :
Terjadi oleh karena aspirasi selama penelanan muntah atau sonde lambung (zat hidrokarbon seperti pelitur, minyak tanah dan bensin).
b.      Bronkopneumonia lipoid :
Terjadi akibat pemasukan obat yang mengandung minyak secara intranasal, termasuk jeli petroleum. Setiap keadaan yang mengganggu mekanisme menelan seperti palatoskizis, pemberian makanan dengan posisi horizontal, atau pemaksaan pemberian makanan seperti minyak ikan pada anak yang sedang menangis. Keparahan penyakit tergantung pada jenis minyak yang terinhalasi. Jenis minyak binatang yang mengandung asam lemak tinggi bersifat paling merusak contohnya seperti susu dan minyak ikan.
Selain faktor di atas, daya tahan tubuh sangat berpengaruh untuk terjadinya bronkopneumonia. Menurut sistem imun pada penderita-penderita penyakit yang berat seperti AIDS dan respon imunitas yang belum berkembang pada bayi dan anak merupakan faktor predisposisi terjadinya penyakit ini.

D.        FAKTOR RISIKO
Bronkopneumonia dapat juga dikatakan suatu peradangan pada parenkim paru yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur.  Bakteri seperti Diplococus pneumonia, Pneumococcus sp, Streptococcus sp, Hemoliticus aureus, Haemophilus influenza, Basilus friendlander (Klebsial pneumonia), dan Mycobacterium tuberculosis. Virus seperti Respiratory syntical virus, Virus influenza, dan Virus sitomegalik. Jamur seperti Citoplasma capsulatum, Criptococcus nepromas, Blastomices dermatides, Cocedirides immitis, Aspergillus sp, Candinda albicans, dan Mycoplasma pneumonia.
Meskipun hampir semua organisme dapat menyebabkan bronkopneumonia, penyebab yang sering adalah stafilokokus, streptokokus, H. influenza, Proteus sp dan Pseudomonas aeruginosa.18 Keadaan ini dapat disebabkan oleh sejumlah besar organisme yang berbeda dengan patogenitas yang bervariasi. Virus, tuberkolosis dan organisme dengan patogenisitas yang rendah dapat juga menyebabkan bronkopneumonia, namun gambarannya bervariasi sesuai agen etiologinya.

E.        PATOGENESIS
Secara patologis, terdapat 4 stadium pneumonia, yaitu (Bradley et.al., 2011):
1.    Stadium I (4-12 jam pertama atau stadium kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
2.    Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
3.    Stadium III (3-8 hari berikutnya)
Disebut hepatisasi kelabu, yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.
4.    Stadium IV (7-11 hari berikutnya)
Disebut juga stadium resolusiyang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.

F.         MANIFESTASI KLINIS
Pneumonia khususnya bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 39-400C dan mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispnu, pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan sianosis di sekitar hidung dan mulut. Batuk biasanya tidak dijumpai pada awal penyakit,anak akan mendapat batuk setelah beberapa hari, di mana pada awalnya berupa batuk kering kemudian menjadi produktif (Bennete, 2013).
Dalam pemeriksaan fisik penderita pneumonia Khususnya Bronkopneumonia  ditemukan  hal-hal  sebagai berikut (Bennete, 2013):
A.     Pada inspeksi terlihat setiap nafas terdapat retraksi otot epigastrik, interkostal, suprasternal, dan pernapasan cuping hidung. Tanda objektif yang merefleksikan adanya distres pernapasan adalah retraksi dinding dada; penggunaan otot tambahan yang terlihat dan cuping hidung; orthopnea; dan pergerakan pernafasan yang berlawanan. Tekanan intrapleura yang bertambah negatif selama inspirasi melawan resistensi tinggi jalan nafas menyebabkan retraksi bagian-bagian yang mudah terpengaruh pada dinding dada, yaitu jaringan ikat inter dan sub kostal, dan fossae supraklavikula dan suprasternal. Kebalikannya, ruang interkostal yang melenting dapat terlihat apabila tekanan intrapleura yang semakin positif. Retraksi lebih mudah terlihat pada bayi baru lahir dimana jaringan ikat interkostal lebih tipis dan lebih lemah dibandingkan anak yang lebih tua.
Kontraksi yang terlihat dari otot sternokleidomastoideus dan pergerakan fossae supraklavikular selama inspirasi merupakan tanda yang paling dapat dipercaya akan adanya sumbatan jalan nafas. Pada infant, kontraksi otot ini terjadi akibat “head bobbing”, yang dapat diamati dengan jelas ketika anak beristirahat dengan kepala disangga tegal lurus dengan area suboksipital. Apabila tidak ada tanda distres pernapasan yang lain pada “head bobbing”, adanya kerusakan sistem saraf pusat dapat dicurigai.
Pengembangan cuping hidung adalah tanda yang sensitif akan adanya distress pernapasan dan dapat terjadi apabila inspirasi memendek secara abnormal (contohnya pada kondisi nyeri dada). Pengembangan hidung memperbesar pasase hidung anterior dan menurunkan resistensi jalan napas atas dan keseluruhan. Selain itu dapat juga menstabilkan jalan napas atas dengan mencegah tekanan negatif faring selama inspirasi.  
B.     Pada palpasi ditemukan vokal fremitus yang simetris. Konsolidasi yang kecil pada paru yang terkena tidak menghilangkan getaran fremitus selama jalan napas masih terbuka, namun bila terjadi perluasan infeksi paru (kolaps paru/atelektasis) maka transmisi energi vibrasi akan berkurang.
C.     Pada perkusi tidak terdapat kelainan
D.     Pada auskultasi ditemukan crackles sedang nyaring.  Crackles adalah bunyi non musikal, tidak kontinyu, interupsi pendek dan berulang dengan spektrum frekuensi antara 200-2000 Hz. Bisa bernada tinggi ataupun rendah (tergantung tinggi rendahnya frekuensi yang mendominasi), keras atau lemah (tergantung dari amplitudo osilasi) jarang atau banyak (tergantung jumlah crackles individual) halus atau kasar (tergantung dari mekanisme terjadinya).
Crackles dihasilkan oleh gelembung-gelembung udara yang melalui sekret jalan napas/jalan napas kecil yang tiba-tiba terbuka.


Manifestasi klinis ((Baughman, Diane C,)
1.    Menggigil mendadak, demam yang tinggi dengan cepat dan berkeringat banyak
2.    Nyeri dada seperti ditusuk yang diperburuk dengan pernafasan dan batuk.
3.    Sakit parah dengan takipnea jelas (25 – 45/menit) dan dispnea.
4.    Nadi cepat dan bersambung
5.    Bradikardia relatif ketika demam menunjukkan infeksi virus, infeksimycoplasma atau spesies legionella.
6.    Sputum purulen, kemerahan, bersemu darah, kental atau hijau relatif terhadap preparat etiologis.
7.    Tanda-tanda lain: demam, krakles, dan tanda-tanda konsolidasi lebar

G.        PEMERIKSAAN PENUNJANG
1.    Pemeriksaan darah menunjukkan leukositosis dengan predominanpolimorfonuklear atau dapat ditemukan leukopenia yang menandakan prognosis buruk. Dapat ditemukan anemia ringan atau sedang.
2.    Pemeriksaan radiologi memberi gambaran bervariasi:
·         Bercak konsolidasi merata para bronkopneumonia.
·         Bercak konsolidasi satu lobus pada pneumonia lobaris.
·         Gambaran pneumonia difus atau infiltrat interstisialis pada pneumonia stafilokokus.
3.    Pemeriksaan mikrobiologik, spesimen usap tenggorok, sekresi nasofaring, bilasan bronkus atau sputum, darah, aspirasi trakea, pungsi pleura atau aspirasi paru.

PEMERIKSAAN RADIOLOGI
Gambaran radiologis mempunyai bentuk difus bilateral dengan peningkatan corakan bronkhovaskular dan infiltrat kecil dan halus yang tersebar di pinggir lapang paru. Bayangan bercak ini sering terlihat pada lobus bawah (Bennete, 2013).

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit. Hitung leukosit dapat membantu membedakan pneumoni viral dan bakterial. Infeksi virus leukosit normal atau meningkat (tidak melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit predominan) dan bakteri leukosit meningkat 15.000-40.000 /mm3 dengan neutrofil yang predominan. Pada hitung jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta peningkatan LED. Analisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hipokarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik. Isolasi mikroorganisme dari paru, cairan pleura atau darah bersifat invasif sehingga tidak rutin dilakukan (Bennete, 2013)



KRITERIA DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan bila ditemukan 3 dari 5 gejala berikut(Bradley et.al., 2011):
1.    Sesak napas disertai dengan pernafasan cuping hidung dan tarikan dinding dada
2.    Panas badan
3.    Ronkhi basah halus-sedang nyaring (crackles)
4.    Foto thorax meninjikkan gambaran infiltrat difus
5.    Leukositosis (pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit predominan,
    dan bakteri 15.000-40.000/mm3 neutrofil yang predominan)

H.        PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pneumonia khususnya bronkopneumonia pada anak terdiri dari 2 macam, yaitu penatalaksanaan umum dan khusus (IDAI, 2012; Bradley et.al., 2011)
1.   Penatalaksaan Umum
a.   Pemberian oksigen lembab 2-4 L/menit à sampai sesak nafas hilang atau PaO2 pada analisis gas darah ≥ 60 torr.
b.   Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit.
c.   Asidosis diatasi dengan pemberian bikarbonat intravena.
2.   Penatalaksanaan Khusus
a.   Mukolitik, ekspektoran dan obat penurun panas sebaiknya tidak diberikan pada 72 jam pertama karena akan mengaburkan interpretasi reaksi antibioti awal.
b.   Obat penurun panas diberikan hanya pada penderita dengan suhu tinggi, takikardi, atau penderita kelainan jantung.
c.   Pemberian antibiotika berdasarkan mikroorganisme penyebab dan manifestasi klinisPneumonia ringan àamoksisilin 10-25 mg/kgBB/dosis (di wilayah dengan angka resistensi  penisillin tinggi dosis dapat dinaikkan menjadi 80-90 mg/kgBB/hari).

Faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan terapi :
1.    Kuman yang dicurigai atas dasas data klinis, etiologis dan epidemiologis
2.    Berat ringan penyakit
3.    Riwayat pengobatan selanjutnya serta respon klinis
4.    Ada tidaknya penyakit yang mendasari
Pemilihan antibiotik dalam penanganan pneumonia pada anak harus dipertimbangkan berdasakan pengalaman empiris, yaitu bila tidak ada kuman yang dicurigai, berikan antibiotik awal (24-72 jam pertama) menurut kelompok usia.
1.    Neonatus dan bayi muda (< 2 bulan) :
a.    ampicillin + aminoglikosid
b.    amoksisillin - asam klavulanat
c.    amoksisillin + aminoglikosid       
d.   sefalosporin generasi ke-3
2.   Bayi dan anak usia pra sekolah (2 bl-5 thn)
a.     beta laktam amoksisillin
b.     amoksisillin - asam klavulanat
c.     golongan sefalosporin
d.     kotrimoksazol
e.     makrolid (eritromisin)
3.   Anak usia sekolah (> 5 thn)
a.   amoksisillin/makrolid (eritromisin, klaritromisin, azitromisin)
b.   tetrasiklin (pada anak usia > 8 tahun)

              Karena dasar antibiotik awal di atas adalah coba-coba (trial and error) maka harus dilaksanakan dengan pemantauan yang ketat, minimal tiap 24 jam sekali sampai hari ketiga. Bila penyakit bertambah berat atau tidak menunjukkan perbaikan yang nyata dalam 24-72 jam à ganti dengan antibiotik lain yang lebih tepat sesuai dengan kuman penyebab yang diduga (sebelumnya perlu diyakinkan dulu ada tidaknya penyulit seperti empyema, abses paru yang menyebabkan seolah-olah antibiotik tidak efektif)

I.          KOMPLIKASI
Komplikasi biasanya sebagai hasil langsung dari penyebaran bakteri dalam rongga thorax (seperti efusi pleura, empiema dan perikarditis) atau penyebaran bakteremia dan hematologi. Meningitis, artritis supuratif, dan osteomielitis adalah komplikasi yang jarang dari penyebaran infeksi hematologi (Bradley et.al., 2011).



J.         PENCEGAHAN
Pencegahan Bronkopneumonia
Pencegahan Primer
Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat agar tidak sakit. Secara garis besar, upaya pencegahan ini dapat berupa pencegahan umum dan pencegahan khusus.
Pencegahan primer bertujuan untuk menghilangkan faktor risiko terhadap kejadian bronkopneumonia. Upaya yang dapat dilakukan anatara lain :
a.      Memberikan imunisasi BCG satu kali (pada usia 0-11 bulan), Campak satu kali (pada usia 9-11 bulan), DPT (Diphteri, Pertusis, Tetanus) sebanyak 3 kali (pada usia 2-11 bulan), Polio sebanyak 4 kali (pada usia 2-11 bulan), dan Hepatitis B sebanyak 3 kali (0-9 bulan).
b.      Menjaga daya tahan tubuh anak dengan cara memberikan ASI pada bayi neonatal sampai berumur 2 tahun dan makanan yang bergizi pada balita.
c.      Mengurangi polusi lingkungan seperti polusi udara dalam ruangan dan polusi di luar ruangan.
d.      Mengurangi kepadatan hunian rumah.
Pencegahan Sekunder
Tingkat pencegahan kedua ini merupakan upaya manusia untuk mencegah orang telah sakit agar sembuh, menghambat progesifitas penyakit, menghindari komplikasi, dan mengurangi ketidakmampuan. Pencegahan sekunder meliputi diagnosis dini dan pengobatan yang tepat sehingga dapat mencegah meluasnya penyakit dan terjadinya komplikasi. Upaya yang dilakukan antara lain :
a.    Bronkopneumonia berat : rawat di rumah sakit, berikan oksigen, beri antibiotik benzilpenisilin, obati demam, obati mengi, beri perawatan suportif, nilai setiap hari.
b.    Bronkopneumonia : berikan kotrimoksasol, obati demam, obati mengi.
c.    Bukan Bronkopneumonia : perawatan di rumah, obati demam.

Pencegahan Tersier
Pencegahan ini dimaksudkan untuk mengurangi ketidakmampuan dan mengadakan rehabilitasi. Upaya yang dapat dilakukan anatara lain :
a.    Memberi makan anak selama sakit, tingkatkan pemberian makan setelah sakit.
b.    Bersihkan hidung jika terdapat sumbatan pada hidung yang menganggu proses pemberian makan.
c.    Berikan anak cairan tambahan untuk minum.
d.    Tingkatkan pemberian ASI. L
e.    Legakan tenggorok dan sembuhkan batuk dengan obat yang aman
f.     Ibu sebaiknya memperhatikan tanda-tanda seperti: bernapas menjadi sulit, pernapasan menjadi cepat, anak tidak dapat minum, kondisi anak memburuk, jika terdapat tanda-tanda seperti itu segera membawa anak ke petugas kesehatan.


ASUHAN KEPERAWATAN UMUM
Pengkajian
a.    Anamnesa:
1)    Identitas meliputi nama, umur, jenis kelamin, nomor RM, Nama penanggung jawab, hubungan dengan pasien, alamat.
2)    Riwayat antenatal: pemeriksaan selama hamil (ANC), hari pertama haid terakhir (HPHT), tapsiran partus (TP).
3)    Riwayat intranatal: perdarahan, ketuban pecah, gawat janin, demam, keputihan, riwayat terapi.
4)    Riwayat penyakit ibu: DM, Asma, Hepatitis B, TB, Hipertensi, jantung dan lainnya.
5)    Riwayat persalinan: cara persalinan (spontan, section, forceps) dan indikasinya
6)    KU bayi saat persalinan: activity tonus reflex (ATR), tangisan, nadi, pernafasan, kelainan fisik, berat badan, panjang badan, lingkar lengan, lingkar dada, APGAR score.
b.  Pemeriksaan fisik
1)    Breathing
Frekuensi napas cepat dan dangkal, gerakan dinding toraks dapat berkurang pada daerah yang terkena, perkusi normal atau redup, retraksi sternum dan intercostal space.  Pada pemeriksaan auskultasi paru dapat terdengar suara nafas utama melemah atau mengeras, suara nafas tambahan berupa ronkhi basah halus di lapangan paru yang terkena, kadang disertai dengan sputum.
2)    Blood
Denyut nadi perifer melemah, tekanan darah biasanya normal, batas jantung tidak mengalami pergeseran, akral dingin, sianosis, kulit pucat, icterus, CRT memanjang (>3 det).
3)    Brain
Klien dengan pneumonia berat biasanya mengalami penurunan kesadaran, didapatkan sianosis perifer apabila gangguan perfusi jaringan berat. Perlu dikaji tingkat kesadaran, besar dan reflek pupil terhadap cahaya
4)    Bladder
Pengukuran volume output dan intake cairan, oleh karena itu perawat perlu memonitor adanya oliguria karena hal tersebut merupakan tanda awal dari syok. Dikaji pula kelainan pada genetalia dan pola eliminasi urine.
5)    Bowel
Dikaji apakah ada distensi pada abdomen, bising usus, bagaimana pola eliminasi alvi, adakah kelainan pada anus.
6)    Bone
Didapatkan kelemahan dan kelelahan secara fisik, dikaji pula adakah kelainan pada tulang yang kemungkinan karena trauma persalinan atau kongenital, bagaimana ATR (activity tonus respon).

FOKUS INTERVENSI
1.      Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan proses inflamasi (Wong, 2003: 1347).
a.    Akan menunjukkan fungsi nafas yang normal.
b.    Akan mendapatkan suplai O2 yang maksimum.
Intervensi:
a.    Berikan posisi untuk ventilasi yang maksimum (longgarkan jalan nafas untuk memberikan kesempatan paru-paru bergerak secara maksimal).
b.    Berikan posisi yang nyaman (kepala lebih tinggi 30o)
c.    Monitor posisi anak secara berkala untuk mengetahui bila terjadi penekanan pada diafragma.
d.    Hindari pakaian yang sempit.
e.    Posisikan anak dengan tidur memakai bantal untuk mempertahankan jalan nafas tetap terbuka.
f.     Berikan tambahan O2 sesuai kebutuhan.
g.    Penuhi kebutuhan istirahat dan tidur anak dengan menentukan jadwal istirahat dan jadwal tidur anak.
2.      Bersihkan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan terjadinya obstruksi, inflamasi, peningkatan sekresi dan nyeri (Wong, 2003: 1348).
Tujuan:
a.    Memelihara nafas yang baik
b.    Pengeluaran sekret secara adekuat.
Intervensi tujuan 1:
a.    Berikan posisi yang sesuai untuk memperlancar pengeluaran sekret.
b.    Lakukan suction pada saluran nafas bila diperlukan.
c.    Posisikan badan terlentang dengan kepala agak tegak terangkat 30o.
d.    Bantu anak mengeluarkan sputum.
e.    Lakukan fisioterapi dada.
f.     Jangan berikan sesuatu melalui mulut untuk mencegah aspirasi cairan.
g.    Sediakan perlengakapan emergency yang dapat digunakan untuk menghindari kesalahan prosedur tindakan.
h.    Hindari uji kultur kerongkongan dengan kecurigaan epiglotis karena ini dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas.
i.      Bantu anak mengimobilisasi daerah luka untuk memaksimalkan efek fisioterapi dada.
Intervensi Tujuan 2:
a.    Penuhi kebutuhan cairan yang adekuat.
b.    Jaga kelembaban hidung untuk mencegah iritasi hidung dan kekeringan membran mukosa.
c.    Jelaskan pentingnya pengeluaran sekret pada anak dan orangtua.
d.    Bantu anak melakukan batuk efektif.
e.    Hindari penumpukan sekret, lakukan suction bila perlu.
3.      Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kehilangan  nafsu makan, masukan nutrisi tidak adekuat (Wong and Whaley’s 1996: 453).
Tujuan:
Akan menerima asupan nutrisi optimal
Intervensi:
a.    Berikan diet nutrisi.
b.    Daftarkan bantuan untuk anak, keluarga dan formula diet nutrisi optimum akibat kehilangan nafsu makan.
c.    Berikan lingkungan yang tenang, bersih, dan nyaman selama anak makan sehingga anak mau makan.
d.    Berikan makanan yang menarik dan bervariasi untuk merangsang nafsu makan.
e.    Lihat juga rencana perawatan anak dengan kebutuhan nutrisi khusus.
4.      Gangguan pengaturan suhu tubuh: hipertermi berhubungan dengan proses peradangan pada alveoli (Carpenito, 1999: 195)
Tujuan:
Gangguan pengaturan suhu tubuh tidak terjadi.
Intervensi:
a.    Kajian faktor-faktor penyebab.
b.    Pantau tanda-tanda vital tiap jam.
c.    Pantau elektrolit glukosa.
d.    Pantau adanya takikardi, takipnea.
e.    Pertahankan cairan parental sesuai indikasi.
f.     Lakukan pengompresan yang sesuai secara perlahan-lahan.
g.    Kolaburasi dengan dokter, dalam pemberian antibiotik dan anti piretik.
5.      Cemas berhubungan dengan kesulitan bernafas, prosedur yang belum dikenal dan lingkungan yang tidak nyaman (Wong 2003: 1348).
Tujuan:
Akan beradaptasi dengan kecemasan.
Intervensi:
a.    Jelaskan prosedur tindakan yang belum dipahami oleh orang tua dan anak.
b.    Berikan penjelasan tentang setiap tindakan yang akan dilakukan pada anak dan orangtua.
c.    Berikan suasana dan lingkungan yang tenang.
d.    Berikan terapi bermain sesuai umur.
e.    Hindari tindakan yang membuat anak bertambah cemas.
f.     Hindari prosedur yang menyakitkan anak.
g.    Atur jadwal istirahat tidur anak dalam setiap rencana keperawatan.
h.    Berikan aktivitas sesuai dengan kondisi dan kemampuan klien.
6.      Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidak seimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen, kelemahan umum, batuk berlebihan dan dispneu (Doenges, 2000: 170).
Tujuan:
Menunjukkan peningkatan toleransi aktivitas yang dapat diukur.
Intervensi:
a.   Evaluasi respon pasien terhadap aktivitas.
b.   Berikan lingkungan yang tenang dan batasi pengunjung yang datang
c.   Berikan aktivitas yang menyenangkan sesuai umur, kondisi, kemampuan, dan ketertarikan anak.
d.   Berikan terapi aktivitas bermain yang tidak mengganggu istirahat.
e.   Penuhi kebutuhan istirahat bila merasa lelah.
f.    Jaga keseimbangan istirahat dan aktivitas.




Daftar Pustaka
Amin, Muhammad.1989.Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga University Press
Asih, Niluh Gede Yasmin. 2003. Keperawatan Medikal Bedah: Klien dengan Gangguan     Sistem Pernapasan. Jakarta: EGC.
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC
Bennete M.J. 2013. Pediatric Pneumonia. http://emedicine.medscape.com/article/967822-overview.
Bradley J.S., Byington C.L., Shah S.S, Alverson B., Carter E.R., Harrison C., Kaplan S.L., Mace S.E., McCracken Jr G.H., Moore M.R., St Peter S.D., Stockwell J.A., and Swanson J.T. 2011. The Management of Community-Acquired Pneumonia in Infants and Children Older than 3 Months of Age : Clinical Practice Guidelines by the Pediatric Infectious Diseases Society and the Infectious Diseases Society of America. Clin Infect Dis. 53 (7): 617-630
DepKes RI. Direktorat Jenderal PPM & PLP. Pedoman Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA). Jakarta. 1992.
Ditjen P2PL Depkes RI 2007. Bimbingan penatalaksanaan pneumonia balita.
Kemenkes RI. 2010. Buletin Jendela Epidemiologi Volume 3. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
Khairuddin. 2009. Kajian Rasionalitas Penggunaan Antibiotik Pada Kasus Pneumonia yang Dirawat pada Bangsal Penyakit Dalam di RSUP dr. Kariadi Semarang Tahun 2008. Semarang: FKUNDIP.
Misnadiarly. 2008. Penyakit Infeksi Saluran Nafas Pneumonia pada Anak,Orang Dewasa, Usia Lanjut. Jakarta: Pustaka Obor Populer
Morgan, Geri. 2009. Obstetri & Ginekologi: Panduan Praktik Edisi 2. Jakarta: EGC
Muscari, M.E. 2005. Panduan Belajar : Keperawatan Pediatrik. Eds : 3. Jakarta : EGC
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Pneumonia di Indonesia. Jakarta.
Setyoningrum, R.A. 2006. Continuing Education Ilmu Kesehatan Anak  XXXVI : Pneumonia. FK Unair RSUD Dr. Soetomo. Surabaya)
Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth. Jakarta: EGC
Somantri, Irman. 2007. Keperawatan Medikal Bedah: Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem Pernafasan. Jakarta: Salemba Medika

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Laporan Pendahuluan ARDS (Adult Respirator Distress Syndrome)

Tetralogy of fallot (ToF)

HEART FAILURE