Laporan pendahuluan Sindrom Nefrotik
Laporan Pendahuluan Sindrom Nefrotik
1. Definisi
Sindrom nefrotik adalah keadaan klinis yang disebabkan
oleh peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein plasma yang
menimbulkan proteinuria, hipoalbunemia, hiperlipidemia, dan edema (Cecily Betz
dan Linda Sowden, 2002).
Sindrom Nefrotik (SN) adalah kumpulan gejala yang
terdiri dari proteinuria massif (≥ 40 mg/m2 LPB/jam atau rasio
protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 atau dipstick ≥ 2+), hipoalbuminemia
(≤ 2,5 gr/dL), edema, serta dapat disertai hiperkolesterolemia (250 mg/uL)
(Husein Alatas dkk, 2002).
Sindrom
nefrotik adalah keluarnya protein 3,5 gram atau lebih melalui urin per hari.
Dalam keadaan normal hampir tidak ada protein yang keluar melalui urin. Sindrom
nefrotik biasanya mengisyaratkan kerusakan glomerulus yang berat. Nefropati diabetes
adalah penyebab tersering sindrom nefrotik. Pada Individu yang tidak menderita
diabetes, berbagai penyakit glomerulus yang berbeda dapat menjadi penyebab
kelainan ini.
Hilangnya
protein plasma menyebabkan retensi natrium, hipoalbuminemia, dan hipoimunoglobulinemia.
Komplikasi tromboembolus dapat dijumpai. Manifestasi klinisnya antara lain
adalah peningkatan kerentanan terhadap infeksi dan edema generalisata yang
disebut anasarka. Hiperlipidemia, mungkin sebagai suatu respon hati terhadap
kadar albumin yang rendah. Pengobatan
terdiri atas mekanisme untuk mengurangi proteinuria. Mekanisme ini mencakup
diet protein berasal dari kedelai dan rendah lemak dengan pembatasan garam.
Inhibitor enzim pengubah angiotensin menurunkan proteinuria dan menjadi pengobatan
utama. Dapat diberikan diuretik untuk meningkatkan pengeluaran cairan.
Diberikan suplemen protein kecuali apabila dicurigai adanya gagal ginjal,
protein dikontraindikasikan karena dapat memperburuk gagal ginjal.
2. Etiologi dan Klasifikasi
Sebab penyakit sindrom nefrotik yang
pasti belum diketahui, akhir-akhir ini dianggap sebagai suatu penyakit
autoimun. Jadi merupakan suatu reaksi antigen-antibodi. Secara klinis
sindrom nefrotik dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :
a. Sindrom nefrotik primer,
faktor etiologinya tidak diketahui. Dikatakan sindrom nefrotik primer oleh
karena sindrom nefrotik ini secara primer terjadi akibat kelainan pada
glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab lain. Golongan ini paling sering
dijumpai pada anak. Termasuk dalam sindrom nefrotik primer adalah sindrom
nefrotik kongenital, yaitu salah satu jenis sindrom nefrotik yang ditemukan
sejak anak itu lahir atau usia di bawah 1 tahun.
Kelainan
histopatologik glomerulus pada sindrom nefrotik primer dikelompokkan menurut
rekomendasi dari ISKDC (International Study of Kidney Disease in Children).
Kelainan glomerulus ini sebagian besar ditegakkan melalui pemeriksaan mikroskop
cahaya, dan apabila diperlukan, disempurnakan dengan pemeriksaan mikroskop
elektron dan imunofluoresensi. Sindrom nefrotik primer yang
banyak menyerang anak biasanya berupa sindrom nefrotik tipe kelainan minimal.
Pada dewasa prevalensi sindrom nefrotik tipe kelainan minimal jauh lebih
sedikit dibandingkan pada anak-anak.
Tabel di bawah ini
menggambarkan klasifikasi histopatologik sindrom nefrotik pada anak berdasarkan
istilah dan terminologi menurut rekomendasi ISKDC.
Tabel 1. Klasifikasi kelainan glomerulus pada sindrom
nefrotik primer (Kliegman et al.,
2007)
|
Kelainan minimal (KM)
Glomerulosklerosis (GS)
Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)
Glomerulosklerosis fokal global (GSFG)
Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus (GNPMD)
Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus eksudatif
Glomerulonefritis kresentik (GNK)
Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP)
GNMP tipe I dengan deposit subendotelial
GNMP tipe II dengan deposit intramembran
GNMP tipe III dengan deposit transmembran/subepitelial
Glomerulopati membranosa (GM)
Glomerulonefritis kronik lanjut (GNKL)
|
|
.
b. Sindrom nefrotik sekunder,
timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau sebagai akibat dari
berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek samping obat. Penyebab yang
sering dijumpai adalah :
·
Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus, amiloidosis, sindrom
Alport, miksedema.
·
Infeksi : hepatitis B, malaria, schistosomiasis, lepra, sifilis,
streptokokus, AIDS.
·
Toksin dan alergen: logam berat (Hg), penisillamin, probenesid, racun
serangga, bisa ular.
·
Penyakit sistemik bermediasi imunologik: lupus eritematosus sistemik,
purpura Henoch-Schönlein, sarkoidosis.
·
Neoplasma : tumor paru, penyakit Hodgkin, tumor gastrointestinal.
3. Epidemiologi
Secara
keseluruhan prevalensi sindrom nefrotik
pada anak berkisar 2-5 kasusper 100.000 anak. Prevalensi rata-rata secara
komulatif berkisar15,5/100.000. Sindrom nefrotik primer merupakan
90% dari sindrom nefrotik pada anak sisanya merupakansindrom nefrotik sekunder. Prevalensi sindrom nefrotik primer berkisar 16 per
100.000anak. Prevalensi di indonesia sekitar 6 per 100.000 anak dibawah 14
tahun dan dua pertiga kasus terjadi pada anak dibawah 5 tahun. Pada dewasa
biasanya menderita glomerulopati yang bersifat sekunder dari penyakit sistemik
yang dideritanya, dan jarang merupakan sindrom nefrotik primer atau idiopatik. Insidens
SN pada anak dalam kepustakaan di Amerika Serikat dan Inggris adalah 2-4 kasus baru per
100.000 anak per tahun. Di negara berkembang insidensnya lebih tinggi. Di
Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun. Perbandingan anak laki-laki
dan perempuan 2:1.
Sindrom nefrotik idiopatik pada anak, sebagian besar
(80-90%) mempunyai gambaran patologi anatomi berupa kelainan minimal (SNKM).
Gambaran patologi anatomi lainnya adalah glomerulosklerosis fokal segmental
(GSFS) 7-8%, mesangial proliferatif difus (MPD) 1,9 – 2,3%, glomerulonefritis membranoproliferatif
(GNMP) 6,2%, dan nefropati membranosa (GNM) 1,3%. Pada pengobatan
kortikosteroid inisial, sebagian besar SNKM (94%) mengalami remisi total
(responsif), sedangkan pada GSFS 80-85% tidak responsif (resisten steroid).
Di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM Jakarta,
sindrom nefrotik merupakan penyebab kunjungan sebagian besar pasien di
Polikilinik Khusus Nefrologi dan penyebab tersering gagal ginjal anak yang
dirawat antara tahun 1995-2000.
5. Faktor
Resiko
Faktor predisposisi dari Nefrotik Sindrom sebagai berikut :
1.
Penyakit parenkim ginjal primer
·
Glomerulonefritis akut pasca streptococcus
·
Glomerulopati idiopatik
2.
Penyakit metabolic dan jaringan kolagen (sistemik)
·
Diabetes melitus, amiloidosis
·
Henoch-schoenlein purpura
3.
Gangguan sirkulasi mekanik
·
Right heart syndrom
·
Thrombosis vena renalis
4.
Penyakit keganasan :
·
Penyakit Hodgkin
·
Limfosarkoma
·
Mieloma multiple
5.
Penyakit infeksi
6.
Toksin apesifik : logam berat, obat-obatan
7.
Kelainan congenital : sindrom nefrotik herediter
8.
Lain-lain seperti sirosis hepatis, kehamilan, obesitas,
transplantasi ginjal
9.
Grumeruloronefritis (akut / kronis)
6. Manifestasi
Klinis
Walaupun pada anak gejalanya
bervariasi seiring dengan perbedaan proses penyakit, gejala yang paling sering
berkaitan dengan sindrom nefrotik adalah :
1. Penurunan haluaran urine dengan urine
berwarna gelap, berbusa
2. Retensi cairan dengan edema berat
(edema fasial, abdomen, area genital, dan ekstremitas). Berjalan. Edema bersifat “pitting”. Edema di periorbital biasanya
menjadi tanda pertama. Kemudian, sesaat setelah berjalan edema dapat terjadi di
daerah ekstremitas. Semakin lama edema semakin menyebar sehingga dapat
menyebabkan edema seluruh tubuh mungkin disertai dengan peningkatan berat
badan, asites dan efusi pleura. Dengan edema yang khas , anak mungkin terlihat
pucat dan mengalami gawat napas
3. Distensi abdomen karena edema dan
edema mukosa usus yang mengakibatkan kesulitan bernapas, nyeri abdomen,
anoreksia dan diare.
4. Pucat, anemia
5. Keletihan dan intoleransi aktivitas
6. Nilai uji laboratorium abnormal (proteinuria,
albuminemia, hipoproteinemi, hiperlipidemi)
7. Kulit mengilat dengan vena menonjol
8. Penurunan tekanan darah yang ringan
atau normal
9. Peningkatan resiko infeksi, terutama
pneumonia, peritonitis, selulitis, dan septicemia. Anak rentan terhadap infeksi
sekunder karena imunoglobulis hilang melalui urin
10. Mual, anoreksia, diare
7. Pemeriksaan
Diagnostik
1. Uji urin
a.
Protein
urin : >40/1,73 m2 luas permukaan tubuh/hari atau 50 mg/kg/hari
atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2mg/mg
b.
Urinalisa
: cast hialin dan granular, hematuria, dan berat jenis urin tinggi. Biakan urin
hanya dilakukan bila didapatkan gejala klinis yang mengarah kepada infeksi
saluran kemih
c.
Dipstick
urin : positif untuk protein dan darah (≥2=)
d.
Berat
jenis urin : meningkat (normalnya: 285 mOsmol)
2. Uji darah :
a.
Albumin
serum : <2,5 g/dl (hipoalbuminemia)
§
α1
globulin normal (normal: 0,1-0,3 mg/100ml)
§
α2 globulin meninggi (normal : 0,4-1mg/100ml)
§
β globulin meninggi (normal : 0,5-0,9 mg/100ml)
§
γ globulin meninggi (normal : 0,3-1 mg/100ml)
§
rasio
albumin/globulin <1 (normalnya 3/2)
b.
Kolesterol
serum : meningkat (dapat mencapai 450-1500 mg/dL)
c.
Hemoglobin
dan hematocrit : meningkat (hemokonsentrasi)
d.
Laju
Endap Darah (LED) : meningkat
e.
Konsentrasi
natrium serum rendah (130-135 mEq/L)
f.
Elektrolit
serum : bervariasi dengan keadaan penyakit perorangan
3. Uji Diagnostik
a.
Rontgen
dada bisa menunjukkan adanya cairan yang berlebihan
b.
USG
ginjal dan CT scan ginjal atau IVP menunjukkan pengkisutanginjal
c.
Biopsi
ginjal bisa menunjukkan salah satu bentuk glomerulonephritis kronis atau
pembentukan jaringan parut yang tidak spesifik pada glomeruli
8. Penatalaksanaan
Pada Sindrom Nefrotik pertama ,
sebaiknya dirawat di rumah sakit dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan
dan evaluasi pengaturan diit, penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid,
dan edukasi orang tua. Sebelum pengobatan steroid dimulai, dilakukan
pemeriksaan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis INH
bersama steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis diberi obat anti tuberkulosis
(OAT). Perawatan pada SN relaps hanya dilakukan bila disertai edema anasarka
yang berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat, gagal ginjal, atau
syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas disesuaikan dengan
kemampuan pasien. Bila edema tidak berat anak boleh sekolah.
a.
Diitetik
Pemberian diit tinggi protein tidak
diperlukan bahkan sekarang dianggap kontra indikasi karena akan menambah beban
glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein (hiperfiltrasi) dan
menyebabkan terjadinya sklerosis glomerulus. Jadi cukup diberikan diit protein
normal sesuai dengan RDA (recommended daily allowances) yaitu 2 g/kgBB/hari.
Diit rendah protein akan menyebabkan malnutrisi energi protein (MEP) dan hambatan
pertumbuhan anak. Diit rendah garam (1-2 g/hari) hanya diperlukan selama anak
menderita edema.
b.
Diuretik
Restriksi cairan dianjurkan selama ada
edema berat. Biasanya diberikan loop diuretic seperti furosemid 1-2
mg/kgBB/hari, bila perlu dikombinasikan dengan spironolakton (antagonis
aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-3 mg/kgBB/hari. Pada pemakaian diuretik
lebih lama dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit darah (kalium
dan natrium). Bila pemberian diuretik tidak berhasil mengurangi edema (edema
refrakter), biasanya disebabkan oleh hipovolemia atau hipoalbuminemia berat
(kadar albumin ≤ 1 g/dL), dapat diberikan infus albumin 20-25% dengan dosis 1
g/kgBB selama 4 jam untuk menarik cairan dari jaringan interstisial, dan
diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgBB. Bila pasien tidak
mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma sebanyak 20 ml/kgBB/hari secara
perlahan-lahan 10 tetes/menit untuk mencegah terjadinya komplikasi dekompensasi
jantung. Bila diperlukan, albumin atau plasma dapat diberikan selang-sehari
untuk memberikan kesempatan pergeseran cairan dan mencegah overload cairan.
Pemberian plasma berpotensi menyebabkan penularan infeksi hepatitis, HIV, dan
lain lain. Bila asites sedemikian berat sehingga mengganggu pernapasan dapat
dilakukan pungsi asites berulang.
c.
Antibiotik
profilaksis
Di beberapa negara, pasien SN dengan
edema dan asites diberikan antibiotik profilaksis dengan penisilin oral 125-250
mg, 2 kali sehari, sampai edema berkurang.
Di Indonesia tidak dianjurkan pemberian antibiotik profilaksis, tetapi
perlu dipantau secara berkala, dan bila ditemukan tanda-tanda infeksi segera
diberikan antibiotik. Biasanya diberikan antibiotik jenis amoksisilin,
eritromisin, atau sefaleksin.
d.
Imunisasi
Pasien SN yang sedang dalam pengobatan
kortikosteroid atau dalam 6 minggu setelah steroid dihentikan, hanya boleh
mendapatkan vaksin mati. Setelah lebih dari 6 minggu penghentian steroid, dapat
diberikan vaksin hidup. Pemberian imunisasi terhadap Streptococcus pneumoniae
pada beberapa negara dianjurkan, tetapi karena belum ada laporan efektivitasnya
yang jelas, diIndonesia belum dianjurkan. Pada orangtua dipesankan untuk
menghindari kontak dengan pasien varisela. Bila terjadi kontak dengan penderita
varisela, diberikan profilaksis dengan imunoglobulin varicella-zoster, dalam
waktu kurang dari 72 jam. Bila tidak memungkinkan dapat diberikan suntikan
dosis tunggal imunoglobulin intravena. Bila sudah terjadi infeksi perlu
diberikan obat asiklovir dan pengobatan steroid sebaiknya dihentikan sementara.
e.
Pengobatan
dengan kortikosteroid
Kortikosteroid merupakan pengobatan SN
idiopatik pilihan pertama, kecuali bila ada kontraindikasi. Dapat diberikan
prednison atau prednisolon.
1)
Pengobatan
inisial
Sesuai
dengan anjuran ISKDC (International Study on Kidney Diseases in Children)
pengobatan inisial SN dimulai dengan pemberian prednison dosis penuh (full
dose) 60 mg/m2 LPB/hari atau 2 mg/kgBB/hari (maksimal 80 mg/hari), dibagi 3
dosis, untuk menginduksi remisi. Dosis prednison dihitung sesuai dengan berat
badan ideal (berat badan terhadap tinggi badan). Prednison dosis penuh inisial
diberikan selama 4 minggu. Setelah pemberian steroid 2 minggu pertama, remisi
telah terjadi pada 80% kasus, dan remisi mencapai 94% setelah pengobatan
steroid 4 minggu. Bila terjadi remisi pada 4 minggu pertama, maka pemberian
steroid dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40 mg/m2 LPB (2/3 dosis
awal) secara alternating (selang sehari), 1 kali sehari setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan
steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten
steroid.
APN
(Arbeitgemeinshaft für Pediatrische Nephrology) Jerman melaporkan bahwa dengan
pemberian prednison dosis penuh selama 6 minggu dilanjutkan dengan dosis
alternating selama 6 minggu, dapat memperpanjang remisi dibandingkan dengan
dosis standar 8 minggu. Pada pengamatan 12 bulan pasca terapi, kejadian relaps
menurun menjadi 36,2% vs 81% (dosis standar). Pada penelitian di Jakarta
didapatkan kesan adanya penurunan jumlah relaps pada kelompok yang mendapat
steroid lebih lama, tetapi karena jumlah kasus yang diteliti sedikit, perbedaan
ini tidak dapat dinilai secara statistik,10 sedangkan penelitian di Surabaya
menemukan perbedaan kejadian relaps yang tidak bermakna.
2)
Pengobatan
relaps
Meskipun
pada pengobatan inisial terjadi remisi total pada 94% pasien, tetapi sebagian
besar akan mengalami relaps (60-70%) dan 50% di antaranya mengalami relaps
sering. Jumlah kejadian relaps dalam 6 bulan pertama pasca pengobatan inisial,
sangat penting, karena dapat meramalkan perjalanan penyakit selanjutnya.
Berdasarkan
relaps yang terjadi dalam 6 bulan pertama pasca pengobatansteroid inisial,
pasien dapat dibagi dalam beberapa golongan:
·
Tidak
ada relaps sama sekali (30%)
·
Relaps
jarang : jumlah relaps < 2 kali (10-20%)
·
Relaps
sering : jumlah relaps ≥ 2 kali (40-50%)
·
Dependen
steroid
Dependen steroid adalah bagian dari
relaps sering yang jumlah relapsnya lebih banyak dan prognosisnya lebih buruk,
tetapi masih lebih baik daripada resisten steroid.
Pasien pada kategori 1 dan 2 mempunyai
prognosis paling baik, biasanya setelah mengalami 2-3 kali relaps tidak akan
relaps lagi. Pada kategori 3 dan 4 bila berlangsung lama akan menimbulkan efek
samping steroid, antara lain moon face, hipertensi, striae, dan lain lain.
Pasien SN relaps sering dan dependen steroid sebaiknya dirujuk ke ahli
nefrologi anak, atau setidaknya ditata laksana bersama-sama dengan ahli
nefrologi anak.
3)
Pengobatan
SN relaps sering atau dependen steroid
Dahulu
pada SN relaps sering dan dependen steroid segera diberikan pengobatan steroid
alternating bersamaan dengan pemberian siklofosfamid (CPA), tetapi sekarang
dalam literatur ada 4 opsi:
·
Dicoba
pemberian steroid jangka panjang
·
Pemberian
levamisol
·
Pengobatan
dengan sitostatik
·
Pengobatan
dengan siklosporin (opsi terakhir)
Selain itu, perlu dicari fokus
infeksi, seperti tuberkulosis, infeksi di gigi, atau kecacingan.
a)
Steroid
jangka panjang
Berbagai
penelitian menunjukkan bahwa pemberian steroid jangka panjang dapat dicoba
lebih dahulu sebelum pemberian CPA, mengingat efek samping steroid yang lebih
kecil. Jadi bila telah dinyatakan sebagai SN relaps sering/dependen steroid,
setelah mencapai remisi dengan prednison dosis penuh, diteruskan dengan steroid
alternating dengan dosis yang diturunkan perlahan/bertahap 0,2 mg/kgBB sampai
dosis terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu antara 0,1 – 0,5 mg/kgBB
alternating. Dosis ini disebut dosis threshold dan dapat diteruskan selama 6-12
bulan, kemudian dicoba dihentikan. Umumnya anak usia sekolah dapat mentolerir
prednison 0,5 mg/kgBB dan anak usia pra sekolah sampai 1 mg/kgBB secara
alternating. Bila terjadi relaps pada dosis prednison rumat > 0,5 mg/kgBB
alternating, tetapi < 1,0 mg/kgBB alternating tanpa efek samping yang berat,
dapat dicoba dikombinasikan dengan levamisol dosis 2,5 mg/kgBB, selang sehari,
selama 4-12 bulan, atau langsung diberikan CPA.
Bila
ditemukan keadaan di bawah ini:
·
terjadi
relaps pada dosis rumat > 1 mg/kgBB dosis alternating atau
·
dosis
rumat < 1 mg tetapi disertai
o
efek
samping steroid yang berat
o
pernah
relaps dengan gejala berat, seperti hipovolemia, trombosis, sepsis
diberikan CPA dengan dosis 2-3
mg/kgBB/hari, dosis tunggal, selama 8-12 minggu.
1.
Levamisol
Pemakaian
levamisol pada SN masih terbatas karena efeknya masih diragukan. Efek samping
levamisol antara lain mual, muntah, dan neutropenia reversibel. Dalam sebuah
studi kontrol double blind, levamisol dilaporkan dapat mempertahankan remisi
sampai 50%. Penelitian multisenter oleh British Association for Paediatric Nephrology
pada 61 anak secara randomisasi mendapatkan pada 14 anak yang diberi levamisol
selama 112 hari dan 4 kontrol masih menunjukkan remisi meskipun prednison sudah
dihentikan, tetapi 3 bulan setelah obat dihentikan semua relaps. Di Jakarta,
penelitian pemberian levamisol pernah dilakukan, tetapi hasilnya kurang
memuaskan. Oleh karena itu pada saat ini pemberian levamisol belum dapat
direkomendasikan secara umum, tetapi keputusan diserahkan kepada dokter
spesialis anak atau dokter spesialis anak konsultan yang mengobati pasien.
2.
Sitostatika
Obat
sitostatika yang paling sering dipakai pada pengobatan SN anak adalah
siklofosfamid (CPA) dosis 2-3 mg/kgBB atau klorambusil dosis 0,2-0,3
mg/kgBB/hari, selama 8 minggu. Sitostatika dapat mengurangi relaps sampai lebih
dari 50%, yaitu 67-93% pada tahun pertama, dan 36-66% selama 5 tahun. APN
melaporkan pemberian CPA selama 12 minggu dapat mempertahankan remisi lebih
lama daripada pemberian CPA selama 8 minggu, yaitu 67% dibandingkan 30%16,
tetapi hal ini tidak dapat dikonfirmasi oleh peneliti lain. Pemberian CPA dalam
mempertahankan remisi lebih baik pada SN relaps sering (70%) daripada SN
dependen steroid (30%). Efek samping sitostatika antara lain depresi sumsum
tulang, alopesia, sistitis hemoragik, azospermia, dan dalam jangka panjang
dapat menyebabkan keganasan. Oleh karena itu perlu pemantauan pemeriksaan darah
tepi seperti kadar hemoglobin, leukosit, trombosit, 1-2 kali seminggu. Bila
jumlah leukosit kurang dari 3.000/ul, kadar hemoglobin kurang dari 8 g/dL, atau
jumlah trombosit kurang dari 100.000/ul,
sitostatik dihentikan sementara, dan diteruskan kembali bila jumlah
leukosit lebih dari 5.000/ul. Efek toksisitas pada gonad terjadi bila dosis
total kumulatif mencapai ≥ 200-300 mg/kgBB.18 Pemberian CPA oral selama 3 bulan
mempunyai dosis total 180 mg/kgBB, dan dosis ini aman bagi anak. CPA dapat
diberikan secara oral atau puls baik pada SN relaps sering atau dependen
steroid.
3.
Siklosporin
(CyA)
Pada
SN idiopatik yang tidak responsif dengan pengobatan steroid atau sitostatik
dianjurkan untuk pemberian siklosporin dengan dosis 5 mg/kgBB/hari. Pada SN
relaps sering/dependen steroid, CyA dapat menimbulkan dan mempertahankan
remisi, sehingga pemberian steroid dapat dikurangi atau dihentikan,20 tetapi
bila CyA dihentikan, biasanya akan relaps kembali (dependen siklosporin). Efek
samping dan pemantauan pemberian CyA dapat dilihat pada SN resisten steroid.
4)
Pengobatan
SN resisten steroid
Pengobatan
SN resisten steroid (SNRS) sampai sekarang belum memuaskan. Kebanyakan
publikasi dalam literatur tidak dengan subyek kontrol. Sebelum pengobatan
dimulai, pada pasien SNRS sebaiknya dilakukan biopsi ginjal untuk melihat
gambaran patologi anatomi ginjal, karena gambaran patologi anatomi tersebut
mempengaruhi prognosis. Pengobatan dengan CPA memberikan hasil lebih baik bila
hasil biopsi ginjal menunjukkan SNKM daripada GSFS. Demikian pula hasil
pengobatan pada SNRS nonresponder kasep lebih baik daripada SNRS sejak awal
(initial non responder)
1.
Siklofosfamid
(CPA)
Pemberian
CPA oral pada SNRS dilaporkan dapat menimbulkan remisi pada 20% pasien. Bila terjadi relaps kembali setelah pemberian
CPA, meskipun sebelumnya merupakan SN resisten steroid, dapat dicoba lagi
pengobatan relaps dengan prednison, karena SN yang resisten steroid dapat
menjadi sensitif lagi. Tetapi bila terjadi resisten atau dependen steroid
kembali, dapat diberikan siklosporin, bila pasien mampu.
2.
Siklosporin
(CyA)
Pada
SN resisten steroid, CyA dilaporkan dapat menimbulkan remisi total sebanyak 20%
pada 60 pasien dan remisi parsial pada 13%. Efek samping CyA antara lain
hipertensi, hiperkalemia, hipertrikosis, hipertrofi gingiva, dan juga bersifat
nefrotoksik yaitu menimbulkan lesi tubulointerstisial. Oleh karena itu pada
pemakaian CyA perlu pemantauan terhadap:
i.
Kadar
CyA dalam serum (dipertahankan antara 100-200 ug/mL)
ii.
Kadar
kreatinin darah berkala
iii.
Biopsi
ginjal berkala setiap 2 tahun
Penggunaan CyA pada SN resisten
steroid telah banyak dilaporkan dalam literatur, tetapi karena harga obat ini
mahal maka pemakaian CyA jarang atau sangat selektif.
3.
Metil-prednisolon
puls
Mendoza
dkk. (1990) melaporkan pengobatan SNRS dengan metil prednisolon puls selama 82
minggu bersamaan dengan prednison oral dan siklofosfamid atau klorambusil 8-12
minggu. Pada pengamatan selama 6 tahun, 21 dari 32 penderita (66%) tetap
menunjukkan remisi total dan gagal ginjal terminal hanya ditemukan pada 5%
dibandingkan 40% pada kontrol, tetapi hasil ini tidak dapat dikonfirmasi oleh
laporan penelitian lainnya. Di samping itu efek samping metil prednisolon puls
juga banyak, sehingga pengobatan dengan cara ini agak sukar untuk
direkomendasikan di Indonesia.
4.
Obat
imunosupresif lain
Obat
imunosupresif lain yang dilaporkan telah dipakai pada SNRS adalah vinkristin,
takrolimus,dan mikofenolat mofetil.Karena laporan dalam literatur yang masih
sporadik dan tidak dilakukan dengan studi kontrol, maka obat ini belum
direkomendasikan di Indonesia. Pemberian non imunosupresif untuk mengurangi
proteinuria. Pada pasien SN yang telah resisten terhadap obat kortikosteroid,
sitostatik, dan siklosporin (atau tidak mampu membeli obat ini), dapat
diberikan diuretik (bila ada edema) dikombinasikan dengan inhibitor ACE
(angitensin converting enzyme) untuk mengurangi proteinuria. Jenis obat ini
yang bisa dipakai adalah kaptopril 0,3 mg/kgBB, 3 x sehari, atau enalapril 0,5
mg/kgBB/hari, dibagi 2 dosis. Sebuah penelitian secara random dengan pemberian
enalapril 0,2 mg/kgBB/hari dan 0,6 mg/kgBB/hari selama 8 minggu dapat
menurunkan proteinuria 33% dan 52%.30 Tujuan pemberian inhibitor ACE juga untuk
menghambat terjadinya gagal ginjal terminal (renoprotektif).
f.
Biopsi
ginjal
Indikasi biopsi ginjal pada sindrom
nefrotik anak adalah:
·
Sindrom
nefrotik dengan hematuria nyata, hipertensi, kadar kreatinin dan ureum dalam
plasma meninggi, atau kadar komplemen serum menurun
·
Sindrom
nefrotik resisten steroid
·
Sindrom
nefrotik dependen steroid
g.
Dukungan
bagi orang tua dan anak. Orang tua dan anak sering kali tergangu dengan
penampilan anak. Pengertian akan perasan ini merupakan hal yang penting.
Penyakit ini menimbulkan tegangan yang berta pada keluarga dengan masa remisi,
eksaserbasi dan masuk rumah sakit secara periodik. Kondisi ini harus
diterangkan pada orang tua sehingga mereka mereka dapat mengerti perjalanan
penyakit ini. Keadaan depresi dan frustasi akan timbul pada mereka karena
mengalami relaps yang memaksa perawatan di rumahn sakit.
9. Asuhan
Keperawatan
1. Pengkajian
§ Lakukan
pengkajian fisik, termasuk pengkajian luasnya edema.
§ Kaji
riwayat kesehatan, khususnya yang berhubungan dengan adanya peningkatan berat
badan dan kegagalan fungsi ginjal.
§ Observasi
adanya manifestasi dari Sindrom nefrotik : Kenaikan berat badan, edema, bengkak
pada wajah ( khususnya di sekitar mata yang timbul pada saat bangun pagi ,
berkurang di siang hari ), pembengkakan abdomen (asites), kesulitan nafas (
efusi pleura ), pucat pada kulit, mudah lelah, perubahan pada urin (
peningkatan volum, urin berbusa ).
§ Pengkajian
diagnostik meliputi meliputi analisa urin untuk protein, dan sel darah merah,
analisa darah untuk serum protein ( total albumin/globulin ratio, kolesterol )
jumlah darah, serum sodium.
2. Diagnosa
Keperawatan
- Kelebihan volume cairan b. d. penurunan tekanan osmotic plasma.
- Perubahan pola nafas b.d. penurunan ekspansi paru.
- Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. anoreksia.
- Resti infeksi b.d. menurunnya imunitas, prosedur invasive.
- Intoleransi aktivitas b.d. kelelahan.
- Gangguan integritas kulit b.d. immobilitas.
- Gangguan body image b.d. perubahan penampilan.
- Gangguan pola eliminasi:diare b.d. mal absorbsi.
3.
Intervensi
v Kelebihan
volume cairan b. d. penurunan tekanan osmotic plasma.
Tujuan:
tidak terjadi akumulasi cairan dan dapat mempertahankan keseimbangan intake dan
output.
KH:
menunjukkan keseimbangan dan haluaran, tidak terjadi peningkatan berat badan,
tidak terjadi edema.
Intervensi:
·
Pantau,
ukur dan catat intake dan output cairan
·
Observasi
perubahan edema
·
Batasi
intake garam
·
Ukur
lingkar perut
·
timbang
berat badan setiap hari
v Perubahan
pola nafas b.d. penurunan ekspansi paru.
Tujuan:
Pola nafas adekuat
KH:
frekuensi dan kedalaman nafas dalam batas normal
Intervensi:
·
auskultasi bidang paru
·
pantau adanya gangguan bunyi
nafas
·
berikan posisi semi fowler
·
observasi tanda-tanda vital
·
kolaborasi pemberian obat
diuretic
v Perubahan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. anoreksia.
Tujuan:
kebutuhan nutrisi terpenuhi
KH:
tidak terjadi mual dan muntah, menunjukkan masukan yang adekuat, mempertahankan
berat badan
Intervensi:
·
tanyakan makanan kesukaan
pasien
·
anjurkan keluarga untuk
mrndampingi anak pada saat makan
·
pantau adanya mual dan
muntah
·
bantu pasien untuk makan
·
berikan makanan sedikit tapi
sering
·
berikan informasi pada
keluarga tentang diet klien
v Resiko
tinggi infeksi b.d. menurunnya imunitas, prosedur invasif.
Tujuan:
tidak terjadi infeksi
KH:
tidak terdapat tanda-tanda infeksi, tanda-tanda vitl dalam batas normal,
leukosit dalam batas normal.
Intervensi:
·
cuci tangan sebelum dan
sesudah tindakan
·
pantau adanya tanda-tanda
infeksi
·
lakukan perawatan pada
daerah yang dilakukan prosedur invasif
·
anjurkan keluarga untuk
mrnjaga kebersihan pasien
·
kolaborasi pemberian
antibiotik
v Intoleransi
aktivitas b.d. kelelahan.
Tujuan:
pasien dapat mentolerir aktivitas dan mrnghemat energi
KH:
menunjukkan kemampuan aktivitas sesuai dengan kemampuan, mendemonstrasikan
peningkatan toleransi aktivitas
Intervensi:
·
pantau tingkat kemampuan
pasien dalan beraktivitas
·
rencanakan dan sediakan
aktivitas secara bertahap
·
anjurkan keluarga untuk
membantu aktivitas pasien
·
berikan informasi pentingnya
aktivitas bagi pasien
v Gangguan
integritas kulit b.d. immobilitas.
Tujuan:
tidak terjadi kerusakan integritas kulit
KH:
integritas kulit terpelihara, tidak terjadi kerusakan kulit
Intervensi:
·
inspeksi seluruh permukaan
kulit dari kerusakan kulit dan iritasi
·
berikan bedak/ talk untuk
melindungi kulit
·
ubah posisi tidur setiap 4
jam
·
gunakan alas yang lunak
untuk mengurangi penekanan pada kulit.
v Gangguan body image b.d.
perubahan penampilan.
Tujuan:
tidak terjadi gangguan boby image
KH:
menytakan penerimaan situasi diri, memasukkan perubahan konsep diri tanpa harga
diri negatif
Intervensi:
·
gali perasaan dan perhatian
anak terhadap penampilannya
·
dukung sosialisasi dengan
orang-orang yang tidak terkena infeksi
·
berikan umpan balik posotif
terhadap perasaan anak
v Gangguan pola
eliminasi:diare b.d. mal absorbsi.
Tujuan:
tidak terjadi diare
KH:
pola fungsi usus normal, mengeluarkan feses lunak
Intervensi:
·
observasi frekuensi,
karakteristik dan warna feses
·
identifikasi makanan yang
menyebabkan diare pada pasien
·
berikan makanan yang mudah
diserap dan tinggi serap.
Daftar
pustaka
Muscari,
Mary. 2005. Panduan Belajar: keperawatan
pediatric. Ed.3. Jakarta: Kedokteran EGC.
Betz&Sowden.
2009. Buku Saku Keperawatan pediatric. Jakarta:
Kedokteran EGC
Benhman,
Richard.dkk. 2000. Ilmu Kesehatan Anak
Nelson.Ed.15. Jakarta: Kedokteran EGC.
Brunner & Suddarth. 2010. Medical
Surgical Nursing (Perawatan Medikal
Bedah), alih bahasa: Monica Ester.
Jakarta : EGC.
Mansjoer, Arif, dkk. 1999. Kapita Selekta Kedokteran, edisi ketiga,
Jilid 1. Media Aesculapius.
Trihono,Partini.dkk.
2012. Konsensus Tata Laksana Sindrom
Nefrotik Idiopatik pada Anak. (online) http://idai.or.id/wp-content/uploads/2013/02/TATA-LAKSANA-SINDROM-NEFROTIK-IDIOPATIK-PADA-ANAK.pdf . Diakses tanggal 4 Juni 2014.
Wong,L. Donna, 2004. Pedoman Klinis
Keperawatan Pediatrik. EGC : Jakarta.
Alatas,
Husein, Dkk. 2013. Konsensus Tatalaksana
Sindrom Nefrotik Idiopatik Pada Anak Anak. Unit Kerja Koordinasi Nefrologi
Ikatan Dokter Anak Indonesia.s
Komentar
Posting Komentar