Laporan pendahuluan Sindrom Nefrotik


Laporan Pendahuluan Sindrom Nefrotik
1.    Definisi
Sindrom nefrotik adalah keadaan klinis yang disebabkan oleh peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein plasma yang menimbulkan proteinuria, hipoalbunemia, hiperlipidemia, dan edema (Cecily Betz dan Linda Sowden, 2002).
Sindrom Nefrotik (SN) adalah kumpulan gejala yang terdiri dari proteinuria massif (≥ 40 mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 atau dipstick ≥ 2+), hipoalbuminemia (≤ 2,5 gr/dL), edema, serta dapat disertai hiperkolesterolemia (250 mg/uL) (Husein Alatas dkk, 2002).
Sindrom nefrotik adalah keluarnya protein 3,5 gram atau lebih melalui urin per hari. Dalam keadaan normal hampir tidak ada protein yang keluar melalui urin. Sindrom nefrotik biasanya mengisyaratkan kerusakan glomerulus yang berat. Nefropati diabetes adalah penyebab tersering sindrom nefrotik. Pada Individu yang tidak menderita diabetes, berbagai penyakit glomerulus yang berbeda dapat menjadi penyebab kelainan ini.
Hilangnya protein plasma menyebabkan retensi natrium, hipoalbuminemia, dan hipoimunoglobulinemia. Komplikasi tromboembolus dapat dijumpai. Manifestasi klinisnya antara lain adalah peningkatan kerentanan terhadap infeksi dan edema generalisata yang disebut anasarka. Hiperlipidemia, mungkin sebagai suatu respon hati terhadap kadar albumin yang rendah.  Pengobatan terdiri atas mekanisme untuk mengurangi proteinuria. Mekanisme ini mencakup diet protein berasal dari kedelai dan rendah lemak dengan pembatasan garam. Inhibitor enzim pengubah angiotensin menurunkan proteinuria dan menjadi pengobatan utama. Dapat diberikan diuretik untuk meningkatkan pengeluaran cairan. Diberikan suplemen protein kecuali apabila dicurigai adanya gagal ginjal, protein dikontraindikasikan karena dapat memperburuk gagal ginjal.
2.    Etiologi dan Klasifikasi
Sebab penyakit sindrom nefrotik yang pasti belum diketahui, akhir-akhir ini dianggap sebagai suatu penyakit autoimun. Jadi merupakan suatu reaksi antigen-antibodi. Secara klinis sindrom nefrotik dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :
a.  Sindrom nefrotik primer, faktor etiologinya tidak diketahui. Dikatakan sindrom nefrotik primer oleh karena sindrom nefrotik ini secara primer terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab lain. Golongan ini paling sering dijumpai pada anak. Termasuk dalam sindrom nefrotik primer adalah sindrom nefrotik kongenital, yaitu salah satu jenis sindrom nefrotik yang ditemukan sejak anak itu lahir atau usia di bawah 1 tahun.
Kelainan histopatologik glomerulus pada sindrom nefrotik primer dikelompokkan menurut rekomendasi dari ISKDC (International Study of Kidney Disease in Children). Kelainan glomerulus ini sebagian besar ditegakkan melalui pemeriksaan mikroskop cahaya, dan apabila diperlukan, disempurnakan dengan pemeriksaan mikroskop elektron dan imunofluoresensi. Sindrom nefrotik primer yang banyak menyerang anak biasanya berupa sindrom nefrotik tipe kelainan minimal. Pada dewasa prevalensi sindrom nefrotik tipe kelainan minimal jauh lebih sedikit dibandingkan pada anak-anak.
Tabel di bawah ini menggambarkan klasifikasi histopatologik sindrom nefrotik pada anak berdasarkan istilah dan terminologi menurut rekomendasi ISKDC.
 

Tabel  1.  Klasifikasi kelainan glomerulus pada sindrom nefrotik primer (Kliegman et al., 2007)
            Kelainan minimal (KM)
            Glomerulosklerosis (GS)
                        Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)
                        Glomerulosklerosis fokal global (GSFG)
            Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus (GNPMD)
            Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus eksudatif
            Glomerulonefritis kresentik (GNK)
            Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP)
                        GNMP tipe I dengan deposit subendotelial
                        GNMP tipe II dengan deposit intramembran
                        GNMP tipe III dengan deposit transmembran/subepitelial
            Glomerulopati membranosa (GM)
            Glomerulonefritis kronik lanjut (GNKL)

. 

















b.  Sindrom nefrotik sekunder, timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau sebagai akibat dari berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek samping obat. Penyebab yang sering dijumpai adalah :
·         Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus, amiloidosis, sindrom Alport, miksedema.
·         Infeksi : hepatitis B, malaria, schistosomiasis, lepra, sifilis, streptokokus, AIDS.
·         Toksin dan alergen: logam berat (Hg), penisillamin, probenesid, racun serangga, bisa ular.
·         Penyakit sistemik bermediasi imunologik: lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schönlein, sarkoidosis.
·         Neoplasma : tumor paru, penyakit Hodgkin, tumor gastrointestinal.
3.    Epidemiologi
Secara keseluruhan prevalensi sindrom nefrotik pada anak berkisar 2-5 kasusper 100.000 anak. Prevalensi rata-rata secara komulatif berkisar15,5/100.000. Sindrom nefrotik primer merupakan 90% dari sindrom nefrotik pada anak sisanya merupakansindrom nefrotik sekunder. Prevalensi sindrom nefrotik primer berkisar 16 per 100.000anak. Prevalensi di indonesia sekitar 6 per 100.000 anak dibawah 14 tahun dan dua pertiga kasus terjadi pada anak dibawah 5 tahun. Pada dewasa biasanya menderita glomerulopati yang bersifat sekunder dari penyakit sistemik yang dideritanya, dan jarang merupakan sindrom nefrotik primer atau idiopatik. Insidens SN pada anak dalam kepustakaan di Amerika Serikat dan Inggris adalah 2-4 kasus baru per 100.000 anak per tahun. Di negara berkembang insidensnya lebih tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun. Perbandingan anak laki-laki dan perempuan 2:1.
Sindrom nefrotik idiopatik pada anak, sebagian besar (80-90%) mempunyai gambaran patologi anatomi berupa kelainan minimal (SNKM). Gambaran patologi anatomi lainnya adalah glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) 7-8%, mesangial proliferatif difus (MPD) 1,9 – 2,3%, glomerulonefritis membranoproliferatif (GNMP) 6,2%, dan nefropati membranosa (GNM) 1,3%. Pada pengobatan kortikosteroid inisial, sebagian besar SNKM (94%) mengalami remisi total (responsif), sedangkan pada GSFS 80-85% tidak responsif (resisten steroid).
Di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM Jakarta, sindrom nefrotik merupakan penyebab kunjungan sebagian besar pasien di Polikilinik Khusus Nefrologi dan penyebab tersering gagal ginjal anak yang dirawat antara tahun 1995-2000.

5.    Faktor Resiko
Faktor predisposisi dari Nefrotik Sindrom sebagai berikut :
1.    Penyakit parenkim ginjal primer
·         Glomerulonefritis akut pasca streptococcus
·         Glomerulopati idiopatik
2.    Penyakit metabolic dan jaringan kolagen (sistemik)
·         Diabetes melitus, amiloidosis
·         Henoch-schoenlein purpura
3.    Gangguan sirkulasi mekanik
·         Right heart syndrom
·         Thrombosis vena renalis
4.    Penyakit keganasan :
·         Penyakit Hodgkin
·         Limfosarkoma
·         Mieloma multiple
5.    Penyakit infeksi
6.    Toksin apesifik : logam berat, obat-obatan
7.    Kelainan congenital : sindrom nefrotik herediter
8.    Lain-lain seperti sirosis hepatis, kehamilan, obesitas, transplantasi ginjal
9.    Grumeruloronefritis (akut / kronis)


6.    Manifestasi Klinis
Walaupun pada anak gejalanya bervariasi seiring dengan perbedaan proses penyakit, gejala yang paling sering berkaitan dengan sindrom nefrotik adalah :
1.    Penurunan haluaran urine dengan urine berwarna gelap, berbusa
2.    Retensi cairan dengan edema berat (edema fasial, abdomen, area genital, dan ekstremitas).  Berjalan. Edema bersifat “pitting”. Edema di periorbital biasanya menjadi tanda pertama. Kemudian, sesaat setelah berjalan edema dapat terjadi di daerah ekstremitas. Semakin lama edema semakin menyebar sehingga dapat menyebabkan edema seluruh tubuh mungkin disertai dengan peningkatan berat badan, asites dan efusi pleura. Dengan edema yang khas , anak mungkin terlihat pucat dan mengalami gawat napas
3.    Distensi abdomen karena edema dan edema mukosa usus yang mengakibatkan kesulitan bernapas, nyeri abdomen, anoreksia dan diare.
4.    Pucat, anemia
5.    Keletihan dan intoleransi aktivitas
6.    Nilai uji laboratorium abnormal (proteinuria, albuminemia, hipoproteinemi, hiperlipidemi)
7.    Kulit mengilat dengan vena menonjol
8.    Penurunan tekanan darah yang ringan atau normal
9.    Peningkatan resiko infeksi, terutama pneumonia, peritonitis, selulitis, dan septicemia. Anak rentan terhadap infeksi sekunder karena imunoglobulis hilang melalui urin
10.  Mual, anoreksia, diare

7.    Pemeriksaan Diagnostik
1.    Uji urin
a.    Protein urin : >40/1,73 m2 luas permukaan tubuh/hari atau 50 mg/kg/hari atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2mg/mg
b.    Urinalisa : cast hialin dan granular, hematuria, dan berat jenis urin tinggi. Biakan urin hanya dilakukan bila didapatkan gejala klinis yang mengarah kepada infeksi saluran kemih
c.    Dipstick urin : positif untuk protein dan darah (≥2=)
d.    Berat jenis urin : meningkat (normalnya: 285 mOsmol)
2.    Uji darah :
a.    Albumin serum : <2,5 g/dl (hipoalbuminemia)
§  α1  globulin normal (normal: 0,1-0,3 mg/100ml)
§  α2 globulin meninggi  (normal : 0,4-1mg/100ml)
§  β globulin meninggi (normal : 0,5-0,9 mg/100ml)
§  γ globulin meninggi (normal : 0,3-1 mg/100ml)
§  rasio albumin/globulin <1 (normalnya 3/2)
b.    Kolesterol serum : meningkat (dapat mencapai 450-1500 mg/dL)
c.    Hemoglobin dan hematocrit : meningkat (hemokonsentrasi)
d.    Laju Endap Darah (LED) : meningkat
e.    Konsentrasi natrium serum rendah (130-135 mEq/L)
f.     Elektrolit serum : bervariasi dengan keadaan penyakit perorangan
3.    Uji Diagnostik
a.    Rontgen dada bisa menunjukkan adanya cairan yang berlebihan
b.    USG ginjal dan CT scan ginjal atau IVP menunjukkan pengkisutanginjal
c.    Biopsi ginjal bisa menunjukkan salah satu bentuk glomerulonephritis kronis atau pembentukan jaringan parut yang tidak spesifik pada glomeruli
  8. Penatalaksanaan
Pada Sindrom Nefrotik pertama , sebaiknya dirawat di rumah sakit dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diit, penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan edukasi orang tua. Sebelum pengobatan steroid dimulai, dilakukan pemeriksaan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis INH bersama steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis diberi obat anti tuberkulosis (OAT). Perawatan pada SN relaps hanya dilakukan bila disertai edema anasarka yang berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat, gagal ginjal, atau syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas disesuaikan dengan kemampuan pasien. Bila edema tidak berat anak boleh sekolah.
a.    Diitetik
Pemberian diit tinggi protein tidak diperlukan bahkan sekarang dianggap kontra indikasi karena akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan terjadinya sklerosis glomerulus. Jadi cukup diberikan diit protein normal sesuai dengan RDA (recommended daily allowances) yaitu 2 g/kgBB/hari. Diit rendah protein akan menyebabkan malnutrisi energi protein (MEP) dan hambatan pertumbuhan anak. Diit rendah garam (1-2 g/hari) hanya diperlukan selama anak menderita edema.
b.    Diuretik
Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan loop diuretic seperti furosemid 1-2 mg/kgBB/hari, bila perlu dikombinasikan dengan spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-3 mg/kgBB/hari. Pada pemakaian diuretik lebih lama dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit darah (kalium dan natrium). Bila pemberian diuretik tidak berhasil mengurangi edema (edema refrakter), biasanya disebabkan oleh hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (kadar albumin ≤ 1 g/dL), dapat diberikan infus albumin 20-25% dengan dosis 1 g/kgBB selama 4 jam untuk menarik cairan dari jaringan interstisial, dan diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgBB. Bila pasien tidak mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma sebanyak 20 ml/kgBB/hari secara perlahan-lahan 10 tetes/menit untuk mencegah terjadinya komplikasi dekompensasi jantung. Bila diperlukan, albumin atau plasma dapat diberikan selang-sehari untuk memberikan kesempatan pergeseran cairan dan mencegah overload cairan. Pemberian plasma berpotensi menyebabkan penularan infeksi hepatitis, HIV, dan lain lain. Bila asites sedemikian berat sehingga mengganggu pernapasan dapat dilakukan pungsi asites berulang.
c.    Antibiotik profilaksis
Di beberapa negara, pasien SN dengan edema dan asites diberikan antibiotik profilaksis dengan penisilin oral 125-250 mg, 2 kali sehari, sampai edema berkurang.  Di Indonesia tidak dianjurkan pemberian antibiotik profilaksis, tetapi perlu dipantau secara berkala, dan bila ditemukan tanda-tanda infeksi segera diberikan antibiotik. Biasanya diberikan antibiotik jenis amoksisilin, eritromisin, atau sefaleksin.

d.    Imunisasi
Pasien SN yang sedang dalam pengobatan kortikosteroid atau dalam 6 minggu setelah steroid dihentikan, hanya boleh mendapatkan vaksin mati. Setelah lebih dari 6 minggu penghentian steroid, dapat diberikan vaksin hidup. Pemberian imunisasi terhadap Streptococcus pneumoniae pada beberapa negara dianjurkan, tetapi karena belum ada laporan efektivitasnya yang jelas, diIndonesia belum dianjurkan. Pada orangtua dipesankan untuk menghindari kontak dengan pasien varisela. Bila terjadi kontak dengan penderita varisela, diberikan profilaksis dengan imunoglobulin varicella-zoster, dalam waktu kurang dari 72 jam. Bila tidak memungkinkan dapat diberikan suntikan dosis tunggal imunoglobulin intravena. Bila sudah terjadi infeksi perlu diberikan obat asiklovir dan pengobatan steroid sebaiknya dihentikan sementara.
e.    Pengobatan dengan kortikosteroid
Kortikosteroid merupakan pengobatan SN idiopatik pilihan pertama, kecuali bila ada kontraindikasi. Dapat diberikan prednison atau prednisolon.
1)    Pengobatan inisial
Sesuai dengan anjuran ISKDC (International Study on Kidney Diseases in Children) pengobatan inisial SN dimulai dengan pemberian prednison dosis penuh (full dose) 60 mg/m2 LPB/hari atau 2 mg/kgBB/hari (maksimal 80 mg/hari), dibagi 3 dosis, untuk menginduksi remisi. Dosis prednison dihitung sesuai dengan berat badan ideal (berat badan terhadap tinggi badan). Prednison dosis penuh inisial diberikan selama 4 minggu. Setelah pemberian steroid 2 minggu pertama, remisi telah terjadi pada 80% kasus, dan remisi mencapai 94% setelah pengobatan steroid 4 minggu. Bila terjadi remisi pada 4 minggu pertama, maka pemberian steroid dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40 mg/m2 LPB (2/3 dosis awal) secara alternating (selang sehari), 1 kali sehari setelah makan pagi.            Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten steroid.
APN (Arbeitgemeinshaft für Pediatrische Nephrology) Jerman melaporkan bahwa dengan pemberian prednison dosis penuh selama 6 minggu dilanjutkan dengan dosis alternating selama 6 minggu, dapat memperpanjang remisi dibandingkan dengan dosis standar 8 minggu. Pada pengamatan 12 bulan pasca terapi, kejadian relaps menurun menjadi 36,2% vs 81% (dosis standar). Pada penelitian di Jakarta didapatkan kesan adanya penurunan jumlah relaps pada kelompok yang mendapat steroid lebih lama, tetapi karena jumlah kasus yang diteliti sedikit, perbedaan ini tidak dapat dinilai secara statistik,10 sedangkan penelitian di Surabaya menemukan perbedaan kejadian relaps yang tidak bermakna.
2)    Pengobatan relaps
Meskipun pada pengobatan inisial terjadi remisi total pada 94% pasien, tetapi sebagian besar akan mengalami relaps (60-70%) dan 50% di antaranya mengalami relaps sering. Jumlah kejadian relaps dalam 6 bulan pertama pasca pengobatan inisial, sangat penting, karena dapat meramalkan perjalanan penyakit selanjutnya.
Berdasarkan relaps yang terjadi dalam 6 bulan pertama pasca pengobatansteroid inisial, pasien dapat dibagi dalam beberapa golongan:
·         Tidak ada relaps sama sekali (30%)
·         Relaps jarang : jumlah relaps < 2 kali (10-20%)
·         Relaps sering : jumlah relaps ≥ 2 kali (40-50%)
·         Dependen steroid
Dependen steroid adalah bagian dari relaps sering yang jumlah relapsnya lebih banyak dan prognosisnya lebih buruk, tetapi masih lebih baik daripada resisten steroid.
Pasien pada kategori 1 dan 2 mempunyai prognosis paling baik, biasanya setelah mengalami 2-3 kali relaps tidak akan relaps lagi. Pada kategori 3 dan 4 bila berlangsung lama akan menimbulkan efek samping steroid, antara lain moon face, hipertensi, striae, dan lain lain. Pasien SN relaps sering dan dependen steroid sebaiknya dirujuk ke ahli nefrologi anak, atau setidaknya ditata laksana bersama-sama dengan ahli nefrologi anak.
3)    Pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid
Dahulu pada SN relaps sering dan dependen steroid segera diberikan pengobatan steroid alternating bersamaan dengan pemberian siklofosfamid (CPA), tetapi sekarang dalam literatur ada 4 opsi:
·         Dicoba pemberian steroid jangka panjang
·         Pemberian levamisol
·         Pengobatan dengan sitostatik
·         Pengobatan dengan siklosporin (opsi terakhir)
Selain itu, perlu dicari fokus infeksi, seperti tuberkulosis, infeksi di gigi, atau kecacingan.
a)    Steroid jangka panjang
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pemberian steroid jangka panjang dapat dicoba lebih dahulu sebelum pemberian CPA, mengingat efek samping steroid yang lebih kecil. Jadi bila telah dinyatakan sebagai SN relaps sering/dependen steroid, setelah mencapai remisi dengan prednison dosis penuh, diteruskan dengan steroid alternating dengan dosis yang diturunkan perlahan/bertahap 0,2 mg/kgBB sampai dosis terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu antara 0,1 – 0,5 mg/kgBB alternating. Dosis ini disebut dosis threshold dan dapat diteruskan selama 6-12 bulan, kemudian dicoba dihentikan. Umumnya anak usia sekolah dapat mentolerir prednison 0,5 mg/kgBB dan anak usia pra sekolah sampai 1 mg/kgBB secara alternating. Bila terjadi relaps pada dosis prednison rumat > 0,5 mg/kgBB alternating, tetapi < 1,0 mg/kgBB alternating tanpa efek samping yang berat, dapat dicoba dikombinasikan dengan levamisol dosis 2,5 mg/kgBB, selang sehari, selama 4-12 bulan, atau langsung diberikan CPA.
Bila ditemukan keadaan di bawah ini:
·         terjadi relaps pada dosis rumat > 1 mg/kgBB dosis alternating atau
·         dosis rumat < 1 mg tetapi disertai
o   efek samping steroid yang berat
o   pernah relaps dengan gejala berat, seperti hipovolemia, trombosis, sepsis
diberikan CPA dengan dosis 2-3 mg/kgBB/hari, dosis tunggal, selama 8-12 minggu.
1.    Levamisol
Pemakaian levamisol pada SN masih terbatas karena efeknya masih diragukan. Efek samping levamisol antara lain mual, muntah, dan neutropenia reversibel. Dalam sebuah studi kontrol double blind, levamisol dilaporkan dapat mempertahankan remisi sampai 50%. Penelitian multisenter oleh British Association for Paediatric Nephrology pada 61 anak secara randomisasi mendapatkan pada 14 anak yang diberi levamisol selama 112 hari dan 4 kontrol masih menunjukkan remisi meskipun prednison sudah dihentikan, tetapi 3 bulan setelah obat dihentikan semua relaps. Di Jakarta, penelitian pemberian levamisol pernah dilakukan, tetapi hasilnya kurang memuaskan. Oleh karena itu pada saat ini pemberian levamisol belum dapat direkomendasikan secara umum, tetapi keputusan diserahkan kepada dokter spesialis anak atau dokter spesialis anak konsultan yang mengobati pasien.
2.    Sitostatika
Obat sitostatika yang paling sering dipakai pada pengobatan SN anak adalah siklofosfamid (CPA) dosis 2-3 mg/kgBB atau klorambusil dosis 0,2-0,3 mg/kgBB/hari, selama 8 minggu. Sitostatika dapat mengurangi relaps sampai lebih dari 50%, yaitu 67-93% pada tahun pertama, dan 36-66% selama 5 tahun. APN melaporkan pemberian CPA selama 12 minggu dapat mempertahankan remisi lebih lama daripada pemberian CPA selama 8 minggu, yaitu 67% dibandingkan 30%16, tetapi hal ini tidak dapat dikonfirmasi oleh peneliti lain. Pemberian CPA dalam mempertahankan remisi lebih baik pada SN relaps sering (70%) daripada SN dependen steroid (30%). Efek samping sitostatika antara lain depresi sumsum tulang, alopesia, sistitis hemoragik, azospermia, dan dalam jangka panjang dapat menyebabkan keganasan. Oleh karena itu perlu pemantauan pemeriksaan darah tepi seperti kadar hemoglobin, leukosit, trombosit, 1-2 kali seminggu. Bila jumlah leukosit kurang dari 3.000/ul, kadar hemoglobin kurang dari 8 g/dL, atau jumlah trombosit kurang dari 100.000/ul,  sitostatik dihentikan sementara, dan diteruskan kembali bila jumlah leukosit lebih dari 5.000/ul. Efek toksisitas pada gonad terjadi bila dosis total kumulatif mencapai ≥ 200-300 mg/kgBB.18 Pemberian CPA oral selama 3 bulan mempunyai dosis total 180 mg/kgBB, dan dosis ini aman bagi anak. CPA dapat diberikan secara oral atau puls baik pada SN relaps sering atau dependen steroid.
3.    Siklosporin (CyA)
Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan pengobatan steroid atau sitostatik dianjurkan untuk pemberian siklosporin dengan dosis 5 mg/kgBB/hari. Pada SN relaps sering/dependen steroid, CyA dapat menimbulkan dan mempertahankan remisi, sehingga pemberian steroid dapat dikurangi atau dihentikan,20 tetapi bila CyA dihentikan, biasanya akan relaps kembali (dependen siklosporin). Efek samping dan pemantauan pemberian CyA dapat dilihat pada SN resisten steroid.
4)    Pengobatan SN resisten steroid
Pengobatan SN resisten steroid (SNRS) sampai sekarang belum memuaskan. Kebanyakan publikasi dalam literatur tidak dengan subyek kontrol. Sebelum pengobatan dimulai, pada pasien SNRS sebaiknya dilakukan biopsi ginjal untuk melihat gambaran patologi anatomi ginjal, karena gambaran patologi anatomi tersebut mempengaruhi prognosis. Pengobatan dengan CPA memberikan hasil lebih baik bila hasil biopsi ginjal menunjukkan SNKM daripada GSFS. Demikian pula hasil pengobatan pada SNRS nonresponder kasep lebih baik daripada SNRS sejak awal (initial non responder)
1.    Siklofosfamid (CPA)
Pemberian CPA oral pada SNRS dilaporkan dapat menimbulkan remisi pada 20% pasien.  Bila terjadi relaps kembali setelah pemberian CPA, meskipun sebelumnya merupakan SN resisten steroid, dapat dicoba lagi pengobatan relaps dengan prednison, karena SN yang resisten steroid dapat menjadi sensitif lagi. Tetapi bila terjadi resisten atau dependen steroid kembali, dapat diberikan siklosporin, bila pasien mampu.
2.    Siklosporin (CyA)
Pada SN resisten steroid, CyA dilaporkan dapat menimbulkan remisi total sebanyak 20% pada 60 pasien dan remisi parsial pada 13%. Efek samping CyA antara lain hipertensi, hiperkalemia, hipertrikosis, hipertrofi gingiva, dan juga bersifat nefrotoksik yaitu menimbulkan lesi tubulointerstisial. Oleh karena itu pada pemakaian CyA perlu pemantauan terhadap:
                                          i.        Kadar CyA dalam serum (dipertahankan antara 100-200 ug/mL)
                                         ii.        Kadar kreatinin darah berkala
                                        iii.        Biopsi ginjal berkala setiap 2 tahun
Penggunaan CyA pada SN resisten steroid telah banyak dilaporkan dalam literatur, tetapi karena harga obat ini mahal maka pemakaian CyA jarang atau sangat selektif.
3.    Metil-prednisolon puls
Mendoza dkk. (1990) melaporkan pengobatan SNRS dengan metil prednisolon puls selama 82 minggu bersamaan dengan prednison oral dan siklofosfamid atau klorambusil 8-12 minggu. Pada pengamatan selama 6 tahun, 21 dari 32 penderita (66%) tetap menunjukkan remisi total dan gagal ginjal terminal hanya ditemukan pada 5% dibandingkan 40% pada kontrol, tetapi hasil ini tidak dapat dikonfirmasi oleh laporan penelitian lainnya. Di samping itu efek samping metil prednisolon puls juga banyak, sehingga pengobatan dengan cara ini agak sukar untuk direkomendasikan di Indonesia.
4.    Obat imunosupresif lain
Obat imunosupresif lain yang dilaporkan telah dipakai pada SNRS adalah vinkristin, takrolimus,dan mikofenolat mofetil.Karena laporan dalam literatur yang masih sporadik dan tidak dilakukan dengan studi kontrol, maka obat ini belum direkomendasikan di Indonesia. Pemberian non imunosupresif untuk mengurangi proteinuria. Pada pasien SN yang telah resisten terhadap obat kortikosteroid, sitostatik, dan siklosporin (atau tidak mampu membeli obat ini), dapat diberikan diuretik (bila ada edema) dikombinasikan dengan inhibitor ACE (angitensin converting enzyme) untuk mengurangi proteinuria. Jenis obat ini yang bisa dipakai adalah kaptopril 0,3 mg/kgBB, 3 x sehari, atau enalapril 0,5 mg/kgBB/hari, dibagi 2 dosis. Sebuah penelitian secara random dengan pemberian enalapril 0,2 mg/kgBB/hari dan 0,6 mg/kgBB/hari selama 8 minggu dapat menurunkan proteinuria 33% dan 52%.30 Tujuan pemberian inhibitor ACE juga untuk menghambat terjadinya gagal ginjal terminal (renoprotektif).
f.     Biopsi ginjal
Indikasi biopsi ginjal pada sindrom nefrotik anak adalah:
·         Sindrom nefrotik dengan hematuria nyata, hipertensi, kadar kreatinin dan ureum dalam plasma meninggi, atau kadar komplemen serum menurun
·         Sindrom nefrotik resisten steroid
·         Sindrom nefrotik dependen steroid
g.    Dukungan bagi orang tua dan anak. Orang tua dan anak sering kali tergangu dengan penampilan anak. Pengertian akan perasan ini merupakan hal yang penting. Penyakit ini menimbulkan tegangan yang berta pada keluarga dengan masa remisi, eksaserbasi dan masuk rumah sakit secara periodik. Kondisi ini harus diterangkan pada orang tua sehingga mereka mereka dapat mengerti perjalanan penyakit ini. Keadaan depresi dan frustasi akan timbul pada mereka karena mengalami relaps yang memaksa perawatan di rumahn sakit.
   9.  Asuhan Keperawatan
1.    Pengkajian
    § Lakukan pengkajian fisik, termasuk pengkajian luasnya edema.
    § Kaji riwayat kesehatan, khususnya yang berhubungan dengan adanya peningkatan berat badan dan kegagalan fungsi ginjal.
    § Observasi adanya manifestasi dari Sindrom nefrotik : Kenaikan berat badan, edema, bengkak pada wajah ( khususnya di sekitar mata yang timbul pada saat bangun pagi , berkurang di siang hari ), pembengkakan abdomen (asites), kesulitan nafas ( efusi pleura ), pucat pada kulit, mudah lelah, perubahan pada urin ( peningkatan volum, urin berbusa ).
    § Pengkajian diagnostik meliputi meliputi analisa urin untuk protein, dan sel darah merah, analisa darah untuk serum protein ( total albumin/globulin ratio, kolesterol ) jumlah darah, serum sodium.
2.    Diagnosa Keperawatan
  • Kelebihan volume cairan b. d. penurunan tekanan osmotic plasma.
  • Perubahan pola nafas b.d. penurunan ekspansi paru.
  • Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. anoreksia.
  • Resti infeksi b.d. menurunnya imunitas, prosedur invasive.
  • Intoleransi aktivitas b.d. kelelahan.
  • Gangguan integritas kulit b.d. immobilitas.
  • Gangguan body image b.d. perubahan penampilan.
  • Gangguan pola eliminasi:diare b.d. mal absorbsi.

3.    Intervensi
v  Kelebihan volume cairan b. d. penurunan tekanan osmotic plasma.
Tujuan: tidak terjadi akumulasi cairan dan dapat mempertahankan keseimbangan intake dan output.
KH: menunjukkan keseimbangan dan haluaran, tidak terjadi peningkatan berat badan, tidak terjadi edema.
Intervensi:
·            Pantau, ukur dan catat intake dan output cairan
·            Observasi perubahan edema
·            Batasi intake garam
·            Ukur lingkar perut
·            timbang berat badan setiap hari
v  Perubahan pola nafas b.d. penurunan ekspansi paru.
Tujuan: Pola nafas adekuat
KH: frekuensi dan kedalaman nafas dalam batas normal
Intervensi:
·         auskultasi bidang paru
·         pantau adanya gangguan bunyi nafas
·         berikan posisi semi fowler
·         observasi tanda-tanda vital
·         kolaborasi pemberian obat diuretic
v  Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. anoreksia.
Tujuan: kebutuhan nutrisi terpenuhi
KH: tidak terjadi mual dan muntah, menunjukkan masukan yang adekuat, mempertahankan berat badan
Intervensi:
·            tanyakan makanan kesukaan pasien
·            anjurkan keluarga untuk mrndampingi anak pada saat makan
·            pantau adanya mual dan muntah
·            bantu pasien untuk makan
·            berikan makanan sedikit tapi sering
·            berikan informasi pada keluarga tentang diet klien
v  Resiko tinggi infeksi b.d. menurunnya imunitas, prosedur invasif.
Tujuan: tidak terjadi infeksi
KH: tidak terdapat tanda-tanda infeksi, tanda-tanda vitl dalam batas normal, leukosit dalam batas normal.
Intervensi:
·            cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan
·            pantau adanya tanda-tanda infeksi
·            lakukan perawatan pada daerah yang dilakukan prosedur invasif
·            anjurkan keluarga untuk mrnjaga kebersihan pasien
·            kolaborasi pemberian antibiotik

v  Intoleransi aktivitas b.d. kelelahan.
Tujuan: pasien dapat mentolerir aktivitas dan mrnghemat energi
KH: menunjukkan kemampuan aktivitas sesuai dengan kemampuan, mendemonstrasikan peningkatan toleransi aktivitas
Intervensi:
·            pantau tingkat kemampuan pasien dalan beraktivitas
·            rencanakan dan sediakan aktivitas secara bertahap
·            anjurkan keluarga untuk membantu aktivitas pasien
·            berikan informasi pentingnya aktivitas bagi pasien
v  Gangguan integritas kulit b.d. immobilitas.
Tujuan: tidak terjadi kerusakan integritas kulit
KH: integritas kulit terpelihara, tidak terjadi kerusakan kulit
Intervensi:
·            inspeksi seluruh permukaan kulit dari kerusakan kulit dan iritasi
·            berikan bedak/ talk untuk melindungi kulit
·            ubah posisi tidur setiap 4 jam
·            gunakan alas yang lunak untuk mengurangi penekanan pada kulit.
v  Gangguan body image b.d. perubahan penampilan.
Tujuan: tidak terjadi gangguan boby image
KH: menytakan penerimaan situasi diri, memasukkan perubahan konsep diri tanpa harga diri negatif
Intervensi:
·            gali perasaan dan perhatian anak terhadap penampilannya
·            dukung sosialisasi dengan orang-orang yang tidak terkena infeksi
·            berikan umpan balik posotif terhadap perasaan anak
v  Gangguan pola eliminasi:diare b.d. mal absorbsi.
Tujuan: tidak terjadi diare
KH: pola fungsi usus normal, mengeluarkan feses lunak
Intervensi:
·            observasi frekuensi, karakteristik dan warna feses
·            identifikasi makanan yang menyebabkan diare pada pasien
·            berikan makanan yang mudah diserap dan tinggi serap.




Daftar pustaka

Muscari, Mary. 2005. Panduan Belajar: keperawatan pediatric. Ed.3. Jakarta: Kedokteran EGC.
Betz&Sowden. 2009. Buku Saku Keperawatan pediatric. Jakarta: Kedokteran EGC
Benhman, Richard.dkk. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson.Ed.15. Jakarta: Kedokteran EGC.
Brunner & Suddarth. 2010. Medical Surgical Nursing (Perawatan Medikal 
Bedah), alih bahasa: Monica Ester. Jakarta : EGC.
Mansjoer, Arif, dkk. 1999. Kapita Selekta Kedokteran, edisi ketiga, Jilid 1. Media Aesculapius.
Trihono,Partini.dkk. 2012. Konsensus Tata Laksana Sindrom Nefrotik Idiopatik pada Anak. (online) http://idai.or.id/wp-content/uploads/2013/02/TATA-LAKSANA-SINDROM-NEFROTIK-IDIOPATIK-PADA-ANAK.pdf . Diakses tanggal 4 Juni 2014.
Wong,L. Donna, 2004. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. EGC : Jakarta.
Alatas, Husein, Dkk. 2013. Konsensus Tatalaksana Sindrom Nefrotik Idiopatik Pada Anak Anak. Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia.s

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Laporan Pendahuluan ARDS (Adult Respirator Distress Syndrome)

Tetralogy of fallot (ToF)

HEART FAILURE