LP ALL (ACUTE LYMPHOCYTIC LEUKEMIA )


ACUTE LYMPHOCYTIC LEUKEMIA (ALL)

1.    DEFINISI
Leukemia merupakan penyakit keganasan sel darah yang mempengaruhi sumsum tulang dan jaringan getah bening, ditandai oleh poliferasi sel-sel darah putih dengan manifestasi adanya sel-sel abnormal dalam darah tepi (Smeltzer et al., 2008). Selain itu, leukemia merupakan kanker pada jaringan pembuluh darah yang paling umum ditemukan pada anak (Happy, 2009; American Cancer Society, 2014). Pada leukemia terdapat gangguan dalam pengaturan sel leukosit, sel leukosit di dalam darah berproliferasi secara tidak teratur dan tidak terkendali sehingga fungsinya menjadi tidak normal. Leukemia dapat menyebabkan anemia, trombositopenia, penyakit neoplastik yang beragam, atau transformasi maligna dari sel-sel pembentuk darah di sumsum tulang dan jaringan limfoid dan diakhiri dengan kematian (American Cancer Society, 2014).



2.    KLASIFIKASI
Berdasarkan klasifikasi French American British (FAB) dalam American Cancer Society (2014) leukemia dapat diklasifikasikan menjadi leukemia akut dan kronis, keduanya dapat diklasifikasikan lagi menurut jenis sel yang terpengaruh, diantaranya adalah:
1)    Acute Lymphoblastic Leukemia (ALL) 
    Poliferasi maligna/ganas limfoblast dalam sumsum tulang yang dapat disebabkan oleh sel inti tunggal yang dapat bersifat sistemik. Acute Lymphoblastic Leukemia merupakan tipe leukemia yang paling sering terjadi pada anak-anak (75-80%), laki-laki lebih banyak dibanding perempuan, dan puncak insiden usia 4tahun setelah usia 15 ALL jarang terjadi. ALL dapat terjadi pada orang dewasa terutama telah berumur 65 tahun atau lebih. Acute Lymphoblastic Leukemia dapat berakibat fatal karena limfosit immatur berproliferasi dalam sumsum tulang dan jaringan perifer, sehingga mengganggu perkembangan sel normal. Leukemia yang mengenai stem sel hematopoietik yang akan berdiferensiasi ke semua sel myeloid; monosit, granulosit (Basofil, Neutrofil, dan Eusinofil), eritrosit dan trombosit. Lebih dari 80% kasus, sel-sel ganas berasal dari limfoit B dan sisanya merupakan leukemia sel T. Acute Limphocytic Leukemia (ALL), dibedakan berdasarkan abnormalitas sitogenetik yaitu:
a.    L1 adalah sel-sel leukemia terdiri dari limfoblas yang homogen atau small monomorphic type dan L1 ini banyak menyerang anak-anak. ALL dengan sel limfoblast kecil-kecil dan merupakan 84% dari ALL.
b.    L2 terdiri dari sel-sel limfoblas yang lebih heterogen dan large blasts. ALL-L2 sering diderita oleh orang dewasa. Sel lebih besar, inti ireguler, kromatin bergumpal, nukleoli prominen dan sitoplasma cukup banyak merupakan 14% dari ALL.
c.    L3 terdiri dari limfoblas yang homogen, dengan karakteristik berupa sel Burkitt, yaitu sitoplasma basofil dengan banyak vakuola dan hanya merupakan 1% dari ALL. Terjadi pada orang dewasa maupun anak-anak dengan prognosis yang buruk (Murray, 2009).

2)    Acute Myelogenous Leukemia (AML) 
    Mengenai sel stem hematopeotik yang akan berdiferensiasi ke semua sel Mieloid: monosit, granulosit, eritrosit, eritrosit dan trombosit. Semua kelompok usia dapat terkana AML, insidensi meningkat sesuai bertambahnya usia. Insiden AML kira-kira 2-3/100.000 penduduk, LMA lebih sering ditemukan pada usia dewasa (85%) dari pada anak-anak (15%) (Bakti Husada, 2011). Ditemukan lebih sering pada laki-laki daripada wanita. Acute Myelogenous Leukemia (AML) terbagi menjadi 8 type (Murray, 2009), yaitu:
a.    M-0 (Acute Undifferentiated Leukemia 3%)
b.    M-1 (Acute Myeloid Leukemia tanpa maturasi 15%-20%)
Leukemia mieloblastik klasik yang terjadi hampir seperempat dari kasus AML.Pada AML jenis ini terdapat gambaran azurophilic granules dan Auer rods. Dan sel leukemik dibedakan menjadi 2 tipe, tipe 1 tanpa granula dan tipe 2 dengan granula, dimana tipe 1 dominan di M1.
c.    M-2 (Akut Myeloid Leukemia dengan maturasi 25%-30%)
Sel leukemik pada M2 memperlihatkan kematangan yang secara morfologi berbeda, dengan jumlah granulosit dari promielosit yang berubah menjadi granulosit matang berjumlah lebihdari 10 % . Jumlah sel leukemik antara 30 ± 90 %. Tetapi lebih dari 50% dari jumlah sel-sel sumsum tulang di M2 adalah mielosit dan promielosit.
d.    M-3 (Acute Promyelocitic Leukemia 5%-10%)
Sel leukemia pada M3 kebanyakan adalah promielosit dengan granulasi berat, stain mieloperoksidase (+)  yang kuat. Nukleus bervariasi dalam bentuk maupun ukuran, kadang-kadang berlobul. Sitoplasma mengandung granula besar, dan beberapa promielosit mengandung granula berbentuk seperti debu, adanya Disseminated Intravaskular Coagulation (DIC) dihubungkan dengan granula-granula abnormal ini.
e.    M-4 (Acute Myelomonocytic Leukemia 20%)
Terlihat 2 type sel, yaitu granulositik dan monositik, serta sel-sel leukemik lebih dari 30 % dari sel yang bukan eritroit. M4 mirip dengan M1, dibedakan dengan cara 20% dari selyang bukan eritroit adalah sel pada jalur monositik, dengan tahapan maturasi yang berbeda-beda. Jumlah monosit pada darah tepi lebih dari 5000/uL. Tanda lain dari M4 adalah peningkatan proporsi dari eosinofil di sumsum tulang, lebih dari 5% darisel yang bukan eritroit, disebutdengan M4 dengan eoshinophilia. Pasien-pasien dengan AML type M4 mempunyai respon terhadap kemoterapi induksi standar.
f.     M-5 (Acute Monocytic Leukemia 2%-9%)
Pada M5 terdapat lebih dari 80% dari sel yang bukan eritroit adalah monoblas, promonosit,dan monosit. Terbagi menjadi dua, M5a dimana sel monosit dominan adalah monoblas. Sedangkan, pada M5b adalah promonosit dan monosit. M5a jarang terjadi dan hasil perawatannyacukup baik.
g.    M-6 (Erythroleukemia 3%-5%)
Sumsum tulang terdiri lebih dari 50% eritroblas dengan derajat berbeda dari gambaran morfologi Bizzare. Eritroblas ini mempunyai gambaran morfologi abnormal berupa bentuk multinukleat yang lebih besar. Perubahan megaloblastik ini terkait dengan maturasi yang tidak sejalan antara nukleus dan sitoplasma . M6 disebut Myelodisplastic Syndrome (MDS) jika sel leukemik kurang dari 30% dari sel yang bukan eritroit. M6 jarang terjadi dan biasanyakambuhan terhadap kemoterapi-induksi standar .
h.    M-7 (Acute Megakaryocytic Leukemia 3%-12%)
Patogenesis utama LMA adalah adanya blokade maturitas yang menyebabkan proses diferensiasi sel-sel seri mieloid terhenti pada sel-sel muda (blas) dengan akibat terjadi akumulasi sel blas di sumsum tulang. Akumulasi sel blas didalam sumsum tulang menyebabkan gangguan hematopoesis normal dan pada gilirannya mengakibatkan sindrom kegagalan sumsum tulang (bone marrow failure syndrome) yang ditandai dengan adanya sitopenia (anemia, lekopenia dan trombositopenia) (Susan et al., 2008)

3)    Chronic Lymphoblastic Leukemia (CLL) 
     CLL adalah kanker sel limfosit dewasa. Sebagian besar dapat diderita oleh individu yang berusia lanjut (>60 tahun) dan jarang terjadi pada anak-anak. Pada CLL, banyak sel induk darah yang berubah menjadi B-limfosit (sel leukemia) tidak normal yang dewasa namun tidak bisa berfungsi dengan baik pada sumsum
dan darah. B-limfosit yang tidak normal ini hidup lebih lama dari biasanya dan terkumpul di dalam darah. Sel ini tidak bisa memerangi infeksi dengan baik. Hal ini menyebabkan infeksi, anemia, dan mudahnya terjadi perdarahan. Beberapa CLL diasosiasikan dengan gejala penyakit auto-imun (Susan et al., 2008).

4)    Chronic Myelogenous Leukemia (CML) 
   CML merupakan kanker sel myeloid yang terkait dengan adanya kromosom Philadelphia dan lebih umum terjadi pada orang dewasa. Selain itu, CML merupakan kanker sumsum tulang yang berkembang secara perlahan dan dapat disebabkan oleh kelainan kromosom karakteristik pada sel induk sumsum tulang
dan sel leukemia. Dalam sel ini, bagian kromosom 9 bertukar tempat dengan bagian dari kromosom 22 yang secara umum disebut dengan kromosom Philadelphia yang menstimulasi sumsum tulang untuk memproduksi sel darah putih dalam jumlah yang abnormal (Susan et al., 2008).

3.    ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO
Penyebab dasar terjadinya leukemia belum diketahui secara pasti atau ideopatik, tetapi terdapat faktor predisposisi yang menyebabkan terjadinya leukemia menurut Virshup (2010) yaitu:
a.    Genetik
Penyimpangan kromosom insidensi leukemia meningkat pada penderita kelainan kongenital, diantaranya pada sindroma Down 20x lebih besar dari orang normal, sindroma Bloom, Fanconi’s Anemia, sindroma Wiskott-Aldrich, sindroma Ellis vanCreveld, sindroma Kleinfelter, D-Trisomy sindrome, sindroma von Reckinghausen, dan neurofibromatosis. Kelainan-kelainan kongenital ini dikaikan erat dengan adanya perubahan DNA, misalnya pada kromosom 21 atau C-group Trisomy atau pola kromosom yang tidak stabil seperti pada aneuploidy. Jarang ditemukan leukemia familial, tetapi terdapat insiden leukemia lebih tinggi dari saudara kandung anak-anak yang terserang, dengan insiden yang meningkat sampai 20% pada kembar monozigot/identic (Tehuteru, 2011)

b.    Obat-obatan
Obat-obatan anti neoplastik (misal : alkilator dan inhibitor topoisomere II) dapat mengakibatkan penyimpangan kromosom yang menyebabkan AML. Kloramfenikol, fenilbutazon, dan methoxypsoralen dilaporkan menyebabkan kegagalan sumsum tulang yang lambat laun menjadi AML (Virshup, 2010).

c.    Radiasi
Radiasi dapat meningkatkan frekuensi Leukemia Mielostik Akut (LMA), namun tidak berhubungan dengan Leukemia Limfositik Kronis (LLK). Peningkatan resiko leukemia ditemui juga pada pasien yang mendapat terapi radiasi misal: pembesaran thymic. Sedangkan, sinar radioaktif merupakan faktor eksternal yang paling jelas dapat menyebabkan leukemia pada binatang maupun pada manusia. Dibuktikan bahwa penderita yang diobati dengan sinar radioaktif akan menderita leukemia pada 6% klien, dan baru terjadi sesudah 5 tahun (Virshup, 2010).

d.    Leukemia Sekunder
Leukemia yang terjadi setelah perawatan atas penyakit malignansi lain disebut Secondary Acute Leukemia (SAL) atau treatment related leukemia. Termasuk diantaranya penyakit Hodgin, limphoma, myeloma, dan kanker payudara . Hal ini disebabkan karena obat-obatan yang digunakan termasuk golongan imunosupresif dapat menyebabkan kerusakan DNA (Virshup, 2010) . Leukemia biasanya mengenai sel-sel darah putih. Penyebab dari sebagian besar jenis leukemia tidak diketahui. Pemaparan terhadap penyinaran (radiasi) dan bahan kimia tertentu (misalnya benzena) dan pemakaian obat anti kanker, meningkatkan resiko terjadinya leukemia. Orang yang memiliki kelainan genetik tertentu (misalnya sindroma Down dansindroma Fanconi), juga lebih peka terhadap leukemia (Tehuteru, 2011).

e.    Asupan Nutrisi
Asupan nutrisi sangat berguna untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dalam tubuh karena nutrisi ini juga akan mempengaruhi fungsi organ tubuh untuk bekerja secara normal, terutama agar tidak terjadi hematopoiesis abnormal. Asupan nutrisi yang kurang baik, seperti sering mengkonsumsi bahan yang berpengawet dalam jangka lama bisa menyebabkan leukemia.

f.     Riwayat Penyakit
Selain mengalami Leukemia, pasien juga mengalami anemia dan pneumonia yang berkaitan dengan ikatan oksidasi hemoglobin, apabila tidak mencapai standar normal yang dibutuhkan tubuh maka akan terjadi hematopoiesis abnormal (Tehuteru, 2011).

g.    Infeksi virus
Pada awal 1980, di isolasi virus HTLV-1 dan leukemia sel T manusia pada limfosit seorang penderita limfoma kulit dan sejak itu diisolasi dan sempel serum penderita leukemia sel T (Tehuteru, 2011).

4.    MANIFESTASI KLINIS
Sifat khas leukemia adalah proliferasi tidak teratur/akumulasi sel darah putih dalam sumsum tulang, menggantikan elemen sumsum tulang normal. Juga proliferasi di hati, limfa, dan nodus limfatikus, serta invasi organ nonhematologis, seperti meningitis, traktus gastrointestinal, ginjal dan kulit (Bakti Husada, 2011).

1.    Leukemia Akut (National Cancer Institute , 2008)
Limfosit imatur berproliferasi di sumsum tulang & jaringan perifer, serta terakumulasi elisana. Hal diatas mengakibatkan adanya gangguan pada perkembangan sel normal. Leukemia akut juga memperlihatkan gejala klinis yang mencolok. Gejala leukemia akut dapat digolongkan menjadi 3 besar, yaitu:
1)    Gejala kegagalan sumsum tulang:
a.    Anemia menimbulkan gejala pucat, lemah, letargi(kesadaran menurun), pusing, sesak, nyeri dada.
b.    Netropenia menimbulkan infeksi yang ditandai oleh demam, infeksi rongga mulut, tenggorok, kulit, saluran nafas, dan sepsis sampai syok septik. Pasien sering menunjukkan gejala infeksi/perdarahan/keduanya pada waktu diagnosis.
c.    Trombositopenia menimbulkan easy bruisisng, perdarahan mukosa, seperti perdarahan gusi, epistaksis, ekimusis, (perdarahan dalam kulit), serta perdarahan saluran cerna dan sistem saluran  kandung kemih.
d.    Anoreksia adalah tidak adanya/hilangnya selera makan.
Pasien dengan jumlah sel darah putih meningkat secara nyata dalam sirkulasi (jumlahnya melebihi 200.000/mm³) dapat menunjukkan gejala hiperviskositas (Virshup, 2010). Gejala ini mencakup nyeri kepala, perubahan penglihatan, kebingungan dan dispenia yang memerlukan leukoforensis segera (pembuangan leukosit melalui pemisah sel).
2)    Keadaan hiperkatabolik, yang ditandai oleh:
a.    Kaheksia merupakan sindrom yang ditandai dengan penurunan berat badan yang progresif dan menurunnya jaringan lemak dan otot abnormal. Hal ini dijumpai pada 40-85% dari pasien dengan stadium terminal dan penyebab lebih dari 20% dari semua kematian akibat kanker
b.    Keringat malam (gejala hipermetabolisme)
c.    Hiperurikemia yang dapat menimbulkan gout dan gagal ginjal
d.    Demam dan banyak keringat (Virshup, 2010)
3)    Infiltrasi ke dalam organ menimbulkan organomegali dan gejala lain, seperti:
a.    Nyeri tulang & nyeri sternum karena infark tulang (infiltrate subperiosteal) karena infiltrasi sumsum tulang oleh sel-sel leukemia.
b.    Limfadenopati, splenomegali dan hepatomegali
c.    Hipertrofi gusi dan infiltrasi kulit
d.    Sindrom menigeal: sakit kepala, mual muntah, mata kabur, kaku kuduk.
4)    Perdarahan kulit :
a.    Atraumatic ecchymosis: Bercak perdarahan yang kecil pada kulit/membran mukosa, lebih besar dari petekia, yang membentuk bercak biru/ungu yang bundar/tidak teratur serta tanpa elevasi.
b.    Petechiae
c.    Purpura: Perdarahan kecil didalam kulit, membrane mukosa/ permukaan serosa.
5)    Perdarahan gusi
a.    Hepatomegali : pembesaran Hati
b.    Splenomegali : pembesaran Limpa
c.    Limfadenopati : ppnyakit Kelenjar Limfe
d.    Massa di Medias tinum : sering pada LLA sel T
e.    Leukemia sistem saraf pusat : nyeri kepala, muntah (gejala tekanan tinggi intrakranial), perubahan pada status mental, kelumpuhan saraf otak terutama saraf VI % VII, kelainan neurologik fokai.
f.     Keterlibatan organ lain: teksis, retina, kulit, pleura, pericardium, tonsil. (Smelzer et al., 2008)
ALL merupakan hasil dari injuri genetik pada DNA sel di sumsum tulang. penyakit ini biasanya berhubungan dengan akut limfoblastik leukemia karena sel leukemia berpindah ke sumsum tulang yang normal. Sebagian besar pasien kehilangan berat badan. biasanya merasa sulit bernafas selama aktifitas fisik, dan tampak pucat karena anemia. Hal ini merupakan tanda dari rendahnya jumlah trombosit yang dapat disertai tanda kebiruan dan kehitaman tanpa diketahui penyebab yang jelas atau karena injuri minor (Susan et al., 2008).
Bintik-bintik merah dibawah kulit disebut petekie atau perdarahan yang diperpanjang dari minor cots. Ketidaknyamanan pada tulang dan sendi mungkin terjadi, serta secara umum klien mengalami peningkatan suhu atau demam. Selain itu, leukemia limfoblas mungkin berkumpul di limfa sehingga terjadi pembengkakan. Sel leukemia dapat tersimpan dalam otak atau spinalcord dan menyebabkan sakit kepala atau vomiting.
Tanda dan gejala leukemia akut berkaitan dengan neutropenia dan trombositopenia. Ini adalah infeksi berat yang rekuren disertai timbulnya tukak pada membrane mukosa, abses perirektal, pneumonia septicemia disertai menggigil, demam, takikardi, takipnea. Komplikasi ini bertanggung jawab atas tingginya angka kematian yang berhubungan dengan leukemia akut. Penyebab infeksi paling umum: staphilokokus, streptococcus dan bakteri gram negatif usus, serta berbagai spesies jamur (Murray, 2009).
Trombositopenia mengakibatkan perdarahan yang dinyatakan dengan petekie, epitaksis (perdarahan hidung), hematoma pada membrane mukosa, serta pendarahan saluran cerna dan system saluran kemih. Anemia bukan merupakan manifestasi awal disebabkan karena umur eritrosit yang panjang (120 hari). Jika terdapat anemia akan ditemukan pusing dan gejala kelelahan dan dipnea waktu kerja fisik disertai pucat yang nyata (Virshup, 2010). 

2.    Leukemia Kronis (National Cancer Institute, 2008)
Leukemia kronis tidak menampilkan gejala yang spesifik tetapi gejala yang dapat juga menjadi gejala penyakit lain seperti demam tidak tinggi, letih, keringat dingin, perut sering merasa tidak enak dan adakalanya terdapat juga pembesaran limfa. Kadangkala juga terjadi kehilangan nafsu makan dan berat badan menurun. Biasanya gejala-gejala ringan tersebut berlangsung selama 6-8 bulan (Smeltze et al., 2008).

5.    PATOFISIOLOGI









6.    PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Gejala klinis dan pemeriksaan darah lengkap dapat dipakai untuk menegakkan diagnosis leukemia. Namun untuk memastikannya harus dilakukan pemeriksaan aspirasi sumsum tulang dan dilengkapi dengan pemeriksaan radiografi dada, cairan serebrospinal, dan beberapa pemeriksaan penunjang yang lain (Price & Wilson, 2008). Cara ini dapat mendiagnosis sekitar 90% kasus, sedangkan sisanya memerlukan pemeriksaan lebih lanjut, yaitu sitokimia, imunologi, sitogenetika, dan biologi molekuler. Pada pemeriksaan darah lengkap didapatkan anemia, kelainan jumlah hitung jenis leukosit dan trombositopenia. Bisa terdapat eosinofilia reaktif pada pemeriksaan preparat dan apusan darah tepi didapatkan sel-sel blas (Virshup, 2010). Adapun pemeriksaan penunjang pada Leukemia secara umum :
  1. Tes darah – laboratorium akan memeriksa jumlah sel – sel darah. Leukimia menyebabkan jumlah sel–sel darah putih meningkat sangat tinggi, dan jumlah trombosit dan hemoglobin dalam sel–sel darah merah menurun. Pemeriksaan laboratorium juga akan meneliti darah untuk mencari ada tidaknya tanda-tanda  kelainan pada hati atau ginjal. Digunakan untuk mengetahui kadar Hb-Eritrosit, leukosit dan trombosit (Abdoerrachman dkk, 2008).
-       Hb rendah < 10 g/100 ml
(N: dewasa: Pria 13,5-18 g/dl, wanita 12-16 g/dl; anak: 6 bln-1 th 10-15 g/dl, 5-14 th 11-16 g/dl)
-       Trombositopenia < 50.000/mm
-       Leukosit meningkat dapat lebih dari 200.000/mm3, normal atau menurun, kurang dari 1000/mm³
b.    Apusan Darah Tepi
Digunakan untuk mengetahui morfologi sel darah berupa bentuk, ukuran, maupun warna sel-sel darah, yang dapat menunjukkan kelainan hematologi (Abdoerrachman dkk, 2008).

c.    Aspirasi Sumsum Tulang
Merupakan tes diagnostik yang sangat penting untuk mendiagnostik dan menetapkan sel maligna. Adanya hiperseluler, sel sumsum tulang diganti sel leukosit.

Perbedaan pada pemeriksaan darah tepi dan sumsum tulang (Virshup, 2010)
Test
AML
ALL
CML
CLL
Darah
Tepi
-     sel darah putih norma kurang/meningkat bisa disertai mieloblas
-     trombositopenia
-     anemia
-       sel darah putih meningkat disertai limfositosis
-       hitung sel darah putih dapat normal/berkurang
-       trombositopenia
-       anemia
-       sel darah putih meningkat terutama granulosit
-       trombositopenia
-       anemia

-      meningkatkan limfosit dewasa yang kecil
-      trombositopenia
-      anemia
Sum-
sum
tulang
Hiperseluler 50%
Mieloblas
Hiperseluler disertai infiltrasi limfoblas
Jiperseluler 2% blas megakariosit
30% limfosit

d.    Biopsi: dokter akan mengangkat sumsum tulang dari tulang pinggul atau tulang besar lainnya. Ahli patologi kemudian akan memeriksa sampel di bawah mikroskop, untuk mencari sel – sel kanker. Cara ini disebut biopsi, yang merupakan cara terbaik untuk mengetahui pakah ada sel – sel leukemia di dalam sumsum tulang (Abdoerrachman dkk, 2008).
  1. Sitogenetik: Laboratorium akan memeriksa kromosom sel dari sampel darah tepi, sumsum tulang atau kelenjar getah bening.
  2. Processus Spinosus : dengan meggunakan jarum yang panjang dan tipis, dokter perlahan – lahan akan mengambil cairan cerebrospinal (cairan yang mengisi ruang di sekitar otak dan sumsum tulang belakang). Prosedur ini berlangsung sekitar 30 menit dan dilakukan dengan anastesi local. Pasien harus berbaring selama beberapa jam setelahnya, agar tidak pusing. Laboratorium akan memeriksa cairan apakah ada sel – sel Leukimia atau tanda – tanda penyakit lainnya.
  3. Sinar X pada dada – sinar X ini dapat mengetahui tanda–tanda penyakit di dada. 

7.    PENATALAKSANAAN
Umumnya pengobatan ditujukan terhadap penegahan kambuh dan mendapatkan masa remisi yang lebih lama. Untuk mencapai keadaan tersebut  pada prinsipnya dipakai pola dasar pengobatan sebagai berikut :
  1. Induksi.Dimaksudkan untuk mencapai remisi, yaitu dengan pemberianberbagi obat tersebut diatas, baik secara sistematik maupun intratekal sampai sel blas dalam sumsum tulang kurang dari 5%.
  2. Konsolidasi. Yaitu agar sel yang tersisa tidak cepat memperbanyak diri.
  3. Rumat (maintenance). Untuk mempertahankan masa remisi, sedapat-dapatnya suatu masa remisi yang lama. Biasanya dilakukan dengan pemberian titostatika separuh dosis biasa.
  4. Reinduksi. Dimaksudkan untuk mencegah relaps. Reinduksi biasanya dilakukan setiap 3-6 bulan dengan pemberian obat-obat seperti pada induksi selama 10-14 hari.
  5. Mencegah terjadinya leukemia susunan saraf pusat. Untuk hal ini diberikan MTX intratekal pada waktu induksi untuk mencegah leukemia meningeal dan radiasi kranial sebanyak 2.400-2.500 rad. Untuk mencegah leukemia meningeal dan leukemia serebral. Radiasi ini tidak diulang pada reinduksi.
  6. Pengobatan imunotologik. Diharapkan semua sel leukemia dalam tubuh akan hilang sama sekali dan dengan demikian diharapkan penderita dapat sembuh sempurna (Bakti Husada, 2011).
Terdapat beberapa penatalaksanaan yang dapat dilakukan untuk menangani kasuk ALL pada anak, diantaranya adalah (Smeltzer et al., 2008; Susan et al., 2009; Tahuteru, 2011)
1)    Penatalaksanaan Farmakologis
Ada banyak cara penanganan yang dapat dilakukan pada penderita leukemia dan setiap penanganan mempunyai keunggulan masing-masing. Tujuan pengobatan pasien leukemia adalah meneapai kesembuhan total dengan menghancurkan sel-sel leukemia. Untuk itu, penderita leukemia harus menjalani kemoterapi dan harus dirawat di rumah sakit.Sebelum sumsum tulang kembali berfungsi normal, penderita mungkin memerlukan transfusi sel darah merah untuk mengatasi anemia, transfusi trombosit untuk mengatasi perdarahan, antibiotik untuk mengatasi infeksi. Beberapa kombinasi dari obat kemoterapi sering digunakan dan dosisnya diulang selama beberapa hari atau beberapa minggu. Secara umum penanganan pada penderita leukemia menurut American Cancer Society (2013) sebagai berikut:
A.   Kemoterapi
Sebagian besar pasien leukemia menjalani kemoterapi. Jenis pengobatan kanker ini menggunakan obat-obatan untuk membunuh sel-sel leukemia (Wong et al., 2008). Tergantung pada jenis leukemia, pasien bisa mendapatkan satu jenis obat atau kombinasi dari dua obat atau lebih. Obat yang digunakan sebagai agen kemoterapi pada ALL meliputi; prednisone, vinkristin (Oncovin), daunorubisin (Daunomycin) dan Lasparaginase (Elspar). Selain itu, terdapat obat-obatan lain yang dimasukkan pada pengobatan awal adalah 6merkaptopurin (Purinethol) dan Metotreksat (Mexate) (Abdoerrachman dkk, 2008).
Pasien leukemia bisa mendapatkan kemoterapi dengan berbagai cara:
a)    Melalui mulut
b)    Dengan suntikan langsung ke pembuluh darah (atau intravena)
c)    Melalui kateter (tabung kecil yang fleksibel) yang ditempatkan di dalam pembuluh darah balik besar, seringkali di dada bagian atas - Perawat akan menyuntikkan obat ke dalam kateter, untuk menghindari suntikan yang berulang kali. Cara ini akan mengurangi rasa tidak nyaman dan/atau cedera pada pembuluh darah/kulit.
d)    Dengan suntikan langsung ke cairan cerebrospinal - jika ahli patologi menemukan sel-sel leukemia dalam cairan yang mengisi ruang di otak dan sumsum tulang belakang, dokter bisa memerintahkan kemoterapi intratekal. Dokter akan menyuntikkan obat langsung ke dalam cairan cerebrospinal. Metode ini digunakan karena obat yang diberikan melalui suntikan IV atau diminum seringkali tidak mencapai sel-sel di otak dan sumsum tulang belakang.
Menurut Happy (2009) terdapat beberapa strategi dasar untuk pengobatan ALL yang terdiri dari tiga fase pelaksanaan kemoterapi, yaitu:
1)    Fase induksi Dimulasi
Tujuan dari tahap pertama pengobatan adalah untuk membunuh sebagian besar sel-sel leukemia di dalam darah dan sumsum tulang. Terapi induksi kemoterapi biasanya memerlukan perawatan di rumah sakit yang panjang karena obat menghancurkan banyak sel darah normal dalam proses membunuh sel leukemia.4-6 minggu setelah diagnosa ditegakkan. Pada fase ini diberikan terapi kortikostreroid (prednison), vincristin dan L-asparaginase. Fase induksi dinyatakan behasil jika tanda-tanda penyakit berkurang atau tidak ada dan dalam sumsum tulangditemukan jumlah sel muda <5%. 
2)    Fase Profilaksis Sistem saraf pusat
Profilaksis SSP diberikan untuk mencegah kekambuhan pada SSP. Perawatan yang digunakan dalam tahap ini sering diberikan pada dosis yang lebih rendah. Pada tahap ini menggunakan obat kemoterapi yang berbeda, kadang-kadang dikombinasikan dengan terapi radiasi, untuk mencegah leukemia memasuki otak dan sistem saraf pusat. Pada fase ini diberikan terapi methotrexate, cytarabinedan hydrocotison melaui intrathecal untuk mencegah invasi sel leukemia ke otak. Terapi irradiasi kranial dilakukan hanya pada pasien leukemia yang mengalami gangguan sistemsaraf pusat (Murray, 2009).
3)    Konsolidasi
Pada fase ini kombinasi pengobatan dilakukan untuk mempertahankan remisis dan mengurangi jumlah sel-sel leukemia yang beredar dalam tubuh. Secara berkala, mingguan atau bulanan dilakukan pemeriksaan darah lengkap untuk menilai respon sumsum tulang terhadap pengobatan. Jika terjadi supresi sumsum  tulang, maka pengobatan dihentikan sementara atau dosis obat dikurangi. Terapi ini dapat dilakukan setelah 6 bulan kemudian.
4)    Rumatan jangka Panjang (maintenance)
Tahap ini bertujuan untuk mempertahankan masa remisi yang biasanya memerlukan waktu 2-3 tahun.

B.   Kortikosteroid
Pemberian obat kortikosteroin meliputi golongan (rednison, kortison, dan deksametason. Setelah dicapai remisi dosis dikurangi sedikit demi sedikit dan akhirnya dihentikan (Murray, 2009).

C.   Sitostatika
Selain sitostatika yang lama (6-merkaptopurin atau 6-mp, metotreksat tau MTX) pada waktu ini dipakai pula yang baru dan lebih poten seperti vinkristin (Oncovin), rudidomisin (daunorubycine), sitosin, arabinosid, L-asparaginase, siklofosfamid atau CPA, adriamisin, dan sebagainya. Umunya sitostatika diberikan dalam kombinasi bersama-sama dengan prednison. Pada pemberian obat-obatan ini sering terdapat akibat samping berupa alopesia, stomatitis, leukopenia, infeksi sekunder atau kandidiasis (Price & Wilson, 2008). Sebaiknya lebih berhati-hati apabila jumlah leukosit <2.000/mm3. Infeksi sekunder dihindarkan (bila mungkin penderita diisolasi) dalam kamar anak (Tehuteru, 2011).

2)    Penatalaksanaan Non Farmakologi
A.   Transplantasi Sel Induk (Stem Cell)
Beberapa pasien leukemia menjalani transplantasi sel induk (stem cell). Transplantasi sel induk memungkinkan pasien diobati dengan dosis obat yang tinggi, radiasi, atau keduanya. Dosis tinggi ini akan menghancurkan sel-sel leukemia sekaligus sel-sel darah normal dalam sumsum tulang. Kemudian, pasien akan mendapatkan sel-sel induk (stem cell) yang sehat melalui tabung fleksibel yang dipasang di pembuluh darah besar di daerah dada atau leher (Smeltzer et al., 2008). Sel-sel darah yang baru akan tumbuh dari sel-sel induk (stem cell) hasil transplantasi. Setelah transplantasi sel induk (stem cell), pasien biasanya harus menginap di rumah sakit selama beberapa minggu. Tim kesehatan akan melindungi pasien dari infeksi sampai sel-sel induk (stem cell) hasil transplantasi mulai menghasilkan sel-sel darah putih dalam jumlah yang memadai.
Transplantasi sumsum tulang merupakan prosedur dimana sumsum tulang yang rusak digantikan dengan sumsum tulang yang sehat. Sumsum tulang yang rusak dapat disebabkan oleh dosis tinggi kemoterapi atau terapi radiasi. Selain itu, transplantasi sumsum tulang juga berguna untuk mengganti sel-sel darah yang rusak karena kanker. Transplantasi sumsu tulang dapat menggunakan sumsum tulang pasien sendiri yang masih sehat. Hal ini  disebuttransplantasi sumsum tulang autologus. Transplantasi sumsum tulang juga dapat diperoleh dari orang lain. Bila didapat dari kembar identik, dinamakan transplantasi syngeneic. Sedangkan bila didapat dari bukan kembar identik, misalnya dari saudara kandung, dinamakan transplantasi allogenik. Sekarang ini, transplantasi sumsum tulang paling sering dilakukan secara allogenik (Tehuteru, 2011).
Efek samping transplantasi sumsum tulang tetap ada, yaitu kemungkinan infeksi dan juga kemungkinan perdarahan karena pengobatan kanker dosis tinggi. Hal ini dapat ditanggulangi dengan pemberian antibiotik ataupun transfusi darah untuk mencegah anemia. Apabila berhasil dilakukan transplantasi sumsum tulang, kemungkinan pasien sembuh sebesar 70-80%, tapi masih memungkinkan untuk kambuh lagi. Kalau tidak dilakukan transplantasi sumsum tulang, angka kesembuhan hanya 40-50%.Terapi stem cell yang rutin digunakan untuk mengobati penyakit saat ini adalah transplantasi stem cell dewasa dari sumsum tulang belakang dan darah perifer serta darah tali pusat bayi (Bakti Husada, 2011).


a)    Stem Cell Sumsum Tulang Belakang
Terapi stem cell yang dikenal baik sekarang ini adalah transplantasi stem cell sumsum tulang belakang yang digunakan untuk mengobati leukimia dan kanker lain yang termasuk penyakit keganasan darah. Leukimia adalah kanker sel-sel darah atau leukosit (Smeltzer, 2008). Seperti sel-sel darah merah lain, leukosit dibuat dalam sumsum tulang belakang melalui sebuah proses yang dimulai dengan stem cell dewasa multipoten (dapat berdiferensiasi menjadi sel-sel penting dalam tubuh). Leukosit dewasa dilepaskan ke dalam aliran darah dimana mereka bekerja untuk melawan infeksi dalam tubuh. Disebut leukimia ketika leukosit mulai tumbuh dan berfungsi abnormal menjadi kanker. Sel-sel abnormal ini tidak dapat melawan infeksi dan dapat mengganggu fungsi organ lain.
Terapi leukimia bergantung pada menghilangkan leukosit abnormal pada pasien dan membiarkan sel yang sehat untuk tumbuh pada tempatnya. Satu cara untuk lakukan ini melalui kemoterapi menggunakan obat yang keras untuk mencari dan membunuh sel-sel abnormal.Ketika kemoterapi sendiri tidak dapat menghancurkan sel-sel abnormal, tenaga medis kadang lebih memilih transplantasi sumsum tulang belakang.Pada transplantasi sumsum tulang belakang, stem cell sumsum tulang belakang pasien tergantikan dengan donor sehat yang cocok. Untuk melakukan hal ini, sumsum tulang belakang pasien dan leukosit abnormal pertama-tama dihancurkan menggunakan kombinasi terapi dan radiasi. Selanjutnya, sampel donor sumsum tulang belakang yang mengandung stem cell yang sehat dimasukkan ke dalam aliran darah pasien. Jika transplantasi sukses, stem cell akan berpindah ke sumsum tulang belakang pasien dan memproduksi leukosit sehat yang baru untuk menggantikan sel-sel abnormal (Murray, 2009).
b)    Stem Cell Darah Perifer
Sebagian besar stem cell darah tersimpan di dalam sumsum tulang belakang, sementara sejumlah stem cell muncul dalam aliran darah. Stem cell darah perifer multipoten dapat digunakan seperti sumsum tulang belakang untuk mengobati leukemia, kanker lain dan berbagai gangguan darah.Stem cell dari darah perifer lebih mudah untuk dikumpulkan dibandingkan dengan stem cell sumsum tulang belakang yang harus diekstrak dari dalam tulang. Hal ini yang membuat stem cell darah perifer merupakan pilihan pengobatan yang tidak seefektif stem cell sumsum tulang belakang. Karena ternyata, stem cell darah perifer jumlahnya sedikit dalam aliran darah sehingga mengumpulkan untuk melakukan transplantasi dapat menimbulkan masalah (Murray, 2009)..
c)    Stem Cell Darah Tali Pusat
Bayi baru lahir tidak membutuhkan tali pusat sehingga tali pusat ini akan dibuang. Dalam beberapa tahun ini, darah kaya akan stem cell multipoten ditemukan dalam tali pusat terbukti berguna dalam mengobati beberapa jenis masalah kesehatan yang sama pada pasien yang diterapi dengan stem cell sumsum tulang belakang dan darah perifer (Murray, 2009). Transplantasi stem cell darah tali pusat lebih sedikit untuk ditolak dibandingkan stem cell sumsum tulang belakang dan darah perifer. Hal ini mungkin disebabkan stem cell sumsum tulang belakang dan darah perifer belum berkembang sehingga dapat dikenali dan diserang oleh kekebalan tubuh resipien.Juga, karena darah tali pusat baru memiliki sedikit sel-sel kekebalan yang berkembang, sehingga risiko kecil sel-sel yang ditransplantasi akan menyerang tubuh resipien, sebuah masalah yang disebut penyakit graft versus host (Virshup, 2010). Baik keanekaragaman dan ketersediaan stem cell darah tali pusat membuat menjadi sumber poten untuk terapi transplantasi.Terapi stem cell seakan menjadi titik terang dalam dunia gelap yang dihadapi para penderita penyakit keganasan darah seperti multiple myeloma, chronic lymphatic leukemia,dan thallasemia mayor. Tapi ternyata, tidak hanya mereka melainkan penderita penyakit lainnya juga dapat disembuhkan karena terapi stem cell di luar negeri telah terbukti berhasil mengobati penyakit, infark miokard jantung, stroke, alzheimer, dan lain-lain.

3)    Imunoterapi
Imunoterapi, merupakan cara pengobatan yang terbaru. Setelah tercapai remisi dan jumlah sel leukemia cukup rendah (105-106), imunoterapi mulai diberikan (Bakti Husada, 2011). Pengobatan yang aspesifik dilakukan dengan pemberian imunisasi BCG atau dengan Corynae bacterium dan dimaksudkan agar terbentuk antibodi yang dapat memperkuat daya tahan tubuh. Pengobatan spesifik dikerjakan dengan penyuntikan sel leukemia yang telah diradiasi. Dengancara ini diharapakan akan terbentuk antibodi yang spesifik terhadap sel leukemia, sehingga semua sel patologis akan dihancurkan sehingga diharapkan penderita leukemia dapat embuh sempurna.BCG diberikan 2 minggu setelah VCR kedua pada reinduksi pertama. Dosis 0,6 ml intrakutan, diberikan pada 3 tempat masing-masing 0,2 ml. Suntikan BCG diberikan 3 kali dengan interval 4 minggu. Selama pengobatan ini, obat-obat rumit diteruskan.
4)    Terapi Biologi
Orang dengan jenis penyakit leukemia tertentu menjalani terapi biologi untuk meningkatkan daya tahan alami tubuh terhadap kanker. Terapi ini diberikan melalui suntikan di dalam pembuluh darah balik (vena). Bagi pasien dengan leukemi limfositik kronis, jenis terapi biologi yang digunakan adalah antibodi monoklonal yang akan mengikatkan diri pada sel-sel leukemia. Terapi ini memungkinkan sistem kekebalan untuk membunuh sel-sel leukemia di dalam darah dan sumsum tulang. Bagi penderita dengan leukemia myeloid kronis, terapi biologi yang digunakan adalah bahan alami bernama interferon untuk memperlambat pertumbuhan sel-sel leukemia (Bakti Husada, 2011).
5)    Terapi sitotoksik leukaemia mieloblastik akut
Terapi pada AML serupa dengan yang dijelaskan untuk ALL tetapi hasilnya kurang baik. Rejimen yang tersering digunakan untuk AML adalah kombinasi tiha obat citosin arabinosida, daunoribisin dan 6-tioguanin. Kasus semua subtipe AML (FAB m1-m6) diobati serupa (kecuali bahwa DIC mungkin ada pada varian promielositik (M3) dan “piatelet concentrates” dan plasma beku segar untuk memlengkapi faktora pembekuan, digunakan sampai dicapai remisi) (Bakti Husada, 2011).
a.    Angka remisi lebih rendah (60% - 80%).
b.    Remisi sering memakan waktu lebih lama untuk dicapai.
c.    Hanya obat mielotoksik yang bernilai besar, dengan kurang selektivitas antara sel leukaemik dan sel sumsum tulang normal.
d.    Kegagalan sumsum tulang berat dan lama, perawatan penunjang intensif dibutuhkan dan kematian dini biasa terjadi, khususnya pada pasien diatas 50 tahun.
e.    Remisi lebih sebentar, nilai terapi pemeliharaan kurang jelas, dan jarang bertahan hidup lama.

8.    KOMPLIKASI
Terdapat beberapa komplikasi yang dapat terjadi akibat dari Leukemia, diantaranya adalah (Price & Wilson, 2008: Smeltzer et al., 2008):
a.    Febrile Neutropenia
Febrile neutropenia merupakan sebuah komplikasi yang sering terjadi pada pasien dengan kanker. Febrile Neutropenia merupakan suatu keadaan pasien ketika suhu tubuhnya melalui temperatur oral mencapai >38,5oC atau >38,0oC selama 2 jam dan jumlah hitung neutrophil <500 sel/mm3 atau <1000 sel/mm3 yang diprediksi akan menurun sampai <500 sel/mm3. Febrile neutropenia merupakan suatu perkembangan dari demam, sering disertai tanda-tanda infeksi, seperti neutropenia, dengan jumlah hitung abnormal rendah dari granulosit neutrophil (tipe sel darah putih).
b.    Trombositopenia.
Merupakan kondisi yang terjadi akibat kurangnya jumlah platelet atau trombosit, sel darah yang berperan penting pada proses pembekuan darah (N 150000-450000 gr/dL). Jika nilai trombosit turun maka akan mempermudah terjadinya perdarahan pada mukosa bibir dan perdarahan di dalam tubuh maupun di perifer.
c.    Abses perirectal merupakan kondisi di mana rongga rektum terisi dengan nanah dan nanah tersebut muncul di sekitar anus. Gejala yang terjadi dapat berupa demam, sembelit, kesulitan dalam buang air kecil. Kadang-kadang rektum dapat terasa panas, nyeri dan bengkak.
d.    Pneumonia septicemia disertai menggigil, demam, takikardi, takipnea.

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN LEUKEMIA

A.   PENGKAJIAN PADA LEUKEMIA MELIPUTI :
  1. Riwayat penyakit sebelumnya dan riwayat penyakit yang ada dikeluarga
  2. Kaji adanya tanda-tanda anemia : pucat, kelemahan, sesak, nafas cepat (hiperventilasi)
  3. Kaji adanya tanda-tanda leucopenia: demam dan adanya Infeksi
  4. Kaji adanya tanda-tanda trombositopenia : ptechia, purpura, dan perdarahan membran mukosa
  5. Kaji adanya tanda-tanda invasi ekstra medulola : Limfadenopati, Hepatomegali, dan Splenomegali
  6. Kaji adanya pembesaran testis
  7. Kaji adanya : Hematuria, Hipertensi, Gagal ginjal, Inflamasi disekitar rektal, dan rasa nyeri pada ekstermitas atas maupun ektermitas bawah

B.   DIAGNOSA KEPERAWATAN
NO
Diagnosa
Kriteria Hasil
Intervensi
1
Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan perdarahan dan kekurangan volume cairan
-       Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam kebutuhan cairan terpenuhi dengan kriteria hasil klien
-       Klien menunjukkan volume cairan adekuat dibuktikan dengan TTV stabil dan haluaran urine (berat jens dan pH dalam batas normal)

1.    Monitor intake dan output cairan
2.    Timbang BB anak setiap hari (J/P)
3.    Monitor TTV, terutama Nadi dan Suhu, serta RR
4.    Perhatikan adanya mual, demam
5.    Dorong cairan sampai 3-4 L/ hari bia masukan oral dimulai
6.    Kolaborasi pemberian cairan IV sesuai indikasi
2
Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan anoreksia, malaise, mual dan muntah, efek samping kemoterapi dan atau stomatitis

-       Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 7x24 jam pasien mendapat nutrisi yang adekuat.

-       Kriteria Hasil: tidak terjadi penurunan BB, terjadi peningkatan BB meningkat, TTV normal, nafsu makan meningkat, mual (-), muntah (-)
1.    Dorong orang tua untuk tetap rileks pada saat anak makan
2.    Izinkan anak memakan semua makanan yang dapat ditoleransi, rencanakan unmtuk memperbaiki kualitas gizi pada saat selera makan anak meningkat
3.    Berikan makanan yang disertai suplemen nutrisi gizi, seperti susu bubuk atau suplemen yang dijual bebas
4.    Izinkan anak untuk terlibat dalam persiapan dan pemilihan makanan
5.    Dorong masukan nutrisi dengan jumlah sedikit tapi sering
6.    Dorong pasien untuk makan diet tinggi kalori kaya nutrient
7.    Timbang BB, ukur TB dan ketebalan lipatan kulit trisep
3
Nyeri yang berhubungan dengan efek fisiologis dari leukemia
-       Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam pasien tidak mengalami nyeri atau nyeri menurun sampai tingkat yang dapat diterima anak.

-       Kriteria Hasil: klien melaporkan nyeri berkurang, skala nyeri turun menjadi ringan 1-3, klien tampak lebih tenang
1.    Observasi tingkat nyeri dengan skala 0 sampai 10
2.    Jika mungkin, gunakan prosedur-prosedur (misal pemantauan suhu non invasif, alat akses vena
3.    Evaluasi efektifitas penghilang nyeri dengan derajat kesadaran dan sedasi
4.    Lakukan teknik pengurangan
5.    Berikan obat-obat anti nyeri

 

DAFTAR PUSTAKA
Abdoerrachman, dkk. 2008. Ilmu Kesehatan Anak Buku I.  Jakarta: Fakultas Kedokteran UI
American Cancer Society, 2014. Childhood Leukemia. [Online] Available from:
http://www.cancer.org/acs/groups/cid/documents/webcontent/003095-pdf.  [diakses 4 Januari 2018]
Bakti Husada, 2011. Pedoman Penemuan Dini Kanker Pada Anak. Kementerian
Kesehatan RI Direktorat Jendral PP & PL Direktorat Pengendalian Penyakit
Tidak Menular. [online] tersedia di:
Happy, Hayati. 2009. Pengaruh Distraksi. Jakarta: FK UI
 http://103.23.20.87/cms/frontend/ebook/Buku_Pedoman_ca_anak-20-2012.pdf. [diakses 4 Januari 2018]
Murray, R.K, 2009. Sel Darah Merah dan Putih. Dalam: Murray, R.K., Granner,
D.K., Rodwell, V.W., ed. Biokimia Harper Edisi 27. Jakarta: EGC. p636–645.
Price and Wilson. 2008. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6. Vol.2. Jakarta : EGC
Smeltzer et al. 2008. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner Suddarth. Jakarta: EGC
Susan, M. T., Mary, M. Canabbio, E. Y. P., Majorie, F. W. 2008. Standar Perawatan Pasien, volume 4, Jakarta: EGC.
Tehuteru, E.S., 2011. Gambaran Tingkat Remisi pada Leukemia Limfoblastik
Akut setelah Fase Induksi di Bangsal Kanker Anak RS Kanker “Dharmais”.
Indonesian Journal of Cancer Vol. 5 No. 4. Available from :
http://indonesianjournalofcancer.or.id/ejournal/index.php/ijoc/article/view/190.pdf. [diakses 4 Januari 2018]
Virshup, D.M. 2010. Biology, Clinical Manifestation, and Treatment of Cancer.
Dalam: S.E. Huether, et al. Pathophysiology: The Biologic Basis for
Disease in Adults and Childhood. Missouri : Mosby Elsevier, 2010.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Laporan Pendahuluan ARDS (Adult Respirator Distress Syndrome)

Tetralogy of fallot (ToF)

HEART FAILURE