LP ALL (ACUTE LYMPHOCYTIC LEUKEMIA )
ACUTE LYMPHOCYTIC LEUKEMIA (ALL)
1. DEFINISI
Leukemia merupakan penyakit keganasan sel darah yang
mempengaruhi sumsum tulang dan jaringan getah bening, ditandai oleh poliferasi
sel-sel darah putih dengan manifestasi adanya sel-sel abnormal dalam darah tepi
(Smeltzer et al., 2008). Selain itu,
leukemia merupakan kanker pada jaringan pembuluh darah yang paling umum
ditemukan pada anak (Happy, 2009; American
Cancer Society, 2014). Pada leukemia terdapat gangguan dalam pengaturan sel
leukosit, sel leukosit di dalam darah berproliferasi secara tidak teratur dan
tidak terkendali sehingga fungsinya menjadi tidak normal. Leukemia
dapat menyebabkan anemia, trombositopenia, penyakit neoplastik yang beragam,
atau transformasi maligna dari sel-sel pembentuk darah di sumsum tulang dan
jaringan limfoid dan diakhiri dengan kematian (American
Cancer Society, 2014).
2. KLASIFIKASI
Berdasarkan klasifikasi French American British (FAB) dalam American Cancer Society (2014) leukemia
dapat diklasifikasikan menjadi leukemia akut dan kronis, keduanya dapat
diklasifikasikan lagi menurut jenis sel yang terpengaruh, diantaranya adalah:
1) Acute Lymphoblastic
Leukemia (ALL)
Poliferasi maligna/ganas limfoblast dalam sumsum tulang yang dapat disebabkan oleh sel inti tunggal yang dapat bersifat sistemik. Acute Lymphoblastic Leukemia merupakan tipe leukemia yang paling sering terjadi pada anak-anak (75-80%), laki-laki lebih banyak dibanding perempuan, dan puncak insiden usia 4tahun setelah usia 15 ALL jarang terjadi. ALL dapat terjadi pada orang dewasa terutama telah berumur 65 tahun atau lebih. Acute Lymphoblastic Leukemia dapat berakibat fatal karena limfosit immatur berproliferasi dalam sumsum tulang dan jaringan perifer, sehingga mengganggu perkembangan sel normal. Leukemia yang mengenai stem sel hematopoietik yang akan berdiferensiasi ke semua sel myeloid; monosit, granulosit (Basofil, Neutrofil, dan Eusinofil), eritrosit dan trombosit. Lebih dari 80% kasus, sel-sel ganas berasal dari limfoit B dan sisanya merupakan leukemia sel T. Acute Limphocytic Leukemia (ALL), dibedakan berdasarkan abnormalitas sitogenetik yaitu:
Poliferasi maligna/ganas limfoblast dalam sumsum tulang yang dapat disebabkan oleh sel inti tunggal yang dapat bersifat sistemik. Acute Lymphoblastic Leukemia merupakan tipe leukemia yang paling sering terjadi pada anak-anak (75-80%), laki-laki lebih banyak dibanding perempuan, dan puncak insiden usia 4tahun setelah usia 15 ALL jarang terjadi. ALL dapat terjadi pada orang dewasa terutama telah berumur 65 tahun atau lebih. Acute Lymphoblastic Leukemia dapat berakibat fatal karena limfosit immatur berproliferasi dalam sumsum tulang dan jaringan perifer, sehingga mengganggu perkembangan sel normal. Leukemia yang mengenai stem sel hematopoietik yang akan berdiferensiasi ke semua sel myeloid; monosit, granulosit (Basofil, Neutrofil, dan Eusinofil), eritrosit dan trombosit. Lebih dari 80% kasus, sel-sel ganas berasal dari limfoit B dan sisanya merupakan leukemia sel T. Acute Limphocytic Leukemia (ALL), dibedakan berdasarkan abnormalitas sitogenetik yaitu:
a.
L1 adalah sel-sel leukemia terdiri dari limfoblas yang homogen atau small monomorphic type dan L1 ini banyak menyerang anak-anak. ALL dengan sel
limfoblast kecil-kecil dan merupakan 84% dari ALL.
b.
L2 terdiri dari sel-sel limfoblas yang lebih heterogen
dan large blasts. ALL-L2 sering diderita oleh
orang dewasa. Sel lebih besar, inti ireguler, kromatin bergumpal, nukleoli
prominen dan sitoplasma cukup banyak merupakan 14% dari ALL.
c.
L3 terdiri dari limfoblas yang homogen, dengan
karakteristik berupa sel Burkitt,
yaitu sitoplasma basofil dengan banyak vakuola dan hanya merupakan 1% dari ALL.
Terjadi pada orang dewasa maupun anak-anak dengan prognosis yang buruk (Murray,
2009).
2) Acute Myelogenous
Leukemia (AML)
Mengenai sel stem hematopeotik yang akan berdiferensiasi ke semua sel Mieloid: monosit, granulosit, eritrosit, eritrosit dan trombosit. Semua kelompok usia dapat terkana AML, insidensi meningkat sesuai bertambahnya usia. Insiden AML kira-kira 2-3/100.000 penduduk, LMA lebih sering ditemukan pada usia dewasa (85%) dari pada anak-anak (15%) (Bakti Husada, 2011). Ditemukan lebih sering pada laki-laki daripada wanita. Acute Myelogenous Leukemia (AML) terbagi menjadi 8 type (Murray, 2009), yaitu:
Mengenai sel stem hematopeotik yang akan berdiferensiasi ke semua sel Mieloid: monosit, granulosit, eritrosit, eritrosit dan trombosit. Semua kelompok usia dapat terkana AML, insidensi meningkat sesuai bertambahnya usia. Insiden AML kira-kira 2-3/100.000 penduduk, LMA lebih sering ditemukan pada usia dewasa (85%) dari pada anak-anak (15%) (Bakti Husada, 2011). Ditemukan lebih sering pada laki-laki daripada wanita. Acute Myelogenous Leukemia (AML) terbagi menjadi 8 type (Murray, 2009), yaitu:
a.
M-0 (Acute
Undifferentiated Leukemia 3%)
b.
M-1 (Acute
Myeloid Leukemia tanpa maturasi 15%-20%)
Leukemia mieloblastik
klasik yang terjadi hampir seperempat dari kasus AML.Pada AML jenis ini
terdapat gambaran azurophilic granules dan Auer rods. Dan sel leukemik
dibedakan menjadi 2 tipe, tipe 1 tanpa granula dan tipe 2 dengan granula,
dimana tipe 1 dominan di M1.
c.
M-2
(Akut Myeloid
Leukemia dengan maturasi 25%-30%)
Sel leukemik pada M2
memperlihatkan kematangan yang secara morfologi berbeda, dengan jumlah
granulosit dari promielosit yang berubah menjadi granulosit matang berjumlah
lebihdari 10 % . Jumlah sel leukemik antara 30 ± 90 %. Tetapi lebih dari 50%
dari jumlah sel-sel sumsum tulang di M2 adalah mielosit dan promielosit.
d.
M-3 (Acute
Promyelocitic Leukemia 5%-10%)
Sel leukemia pada M3 kebanyakan
adalah promielosit dengan granulasi berat, stain mieloperoksidase (+) yang kuat. Nukleus bervariasi dalam bentuk
maupun ukuran, kadang-kadang berlobul. Sitoplasma mengandung granula besar, dan
beberapa promielosit mengandung granula berbentuk seperti debu, adanya Disseminated Intravaskular Coagulation
(DIC) dihubungkan dengan granula-granula abnormal ini.
e.
M-4 (Acute
Myelomonocytic Leukemia 20%)
Terlihat 2 type sel,
yaitu granulositik dan monositik, serta sel-sel leukemik lebih dari 30 % dari
sel yang bukan eritroit. M4 mirip dengan M1, dibedakan dengan cara 20% dari
selyang bukan eritroit adalah sel pada jalur monositik, dengan tahapan maturasi
yang berbeda-beda. Jumlah monosit pada darah tepi lebih dari 5000/uL. Tanda
lain dari M4 adalah peningkatan proporsi dari eosinofil di sumsum tulang, lebih
dari 5% darisel yang bukan eritroit, disebutdengan M4 dengan eoshinophilia.
Pasien-pasien dengan AML type M4 mempunyai respon terhadap kemoterapi induksi
standar.
f.
M-5 (Acute
Monocytic Leukemia 2%-9%)
Pada M5 terdapat lebih
dari 80% dari sel yang bukan eritroit adalah monoblas, promonosit,dan monosit.
Terbagi menjadi dua, M5a dimana sel monosit dominan adalah monoblas. Sedangkan,
pada M5b adalah promonosit dan monosit. M5a jarang terjadi dan hasil perawatannyacukup
baik.
g.
M-6 (Erythroleukemia
3%-5%)
Sumsum tulang terdiri
lebih dari 50% eritroblas dengan derajat berbeda dari gambaran morfologi Bizzare. Eritroblas ini mempunyai
gambaran morfologi abnormal berupa bentuk multinukleat yang lebih besar.
Perubahan megaloblastik ini terkait dengan maturasi yang tidak sejalan antara
nukleus dan sitoplasma . M6 disebut Myelodisplastic
Syndrome (MDS) jika sel leukemik kurang dari 30% dari sel yang bukan
eritroit. M6 jarang terjadi dan biasanyakambuhan terhadap kemoterapi-induksi
standar .
h.
M-7 (Acute
Megakaryocytic Leukemia 3%-12%)
Patogenesis
utama LMA adalah adanya blokade maturitas yang menyebabkan proses diferensiasi
sel-sel seri mieloid terhenti pada sel-sel muda (blas) dengan akibat terjadi
akumulasi sel blas di sumsum tulang. Akumulasi sel blas didalam sumsum tulang
menyebabkan gangguan hematopoesis normal dan pada gilirannya mengakibatkan
sindrom kegagalan sumsum tulang (bone marrow failure syndrome) yang ditandai dengan
adanya sitopenia (anemia, lekopenia dan trombositopenia) (Susan et al., 2008)
3) Chronic Lymphoblastic
Leukemia (CLL)
CLL adalah kanker sel limfosit dewasa. Sebagian besar dapat diderita oleh individu yang berusia lanjut (>60 tahun) dan jarang terjadi pada anak-anak. Pada CLL, banyak sel induk darah yang berubah menjadi B-limfosit (sel leukemia) tidak normal yang dewasa namun tidak bisa berfungsi dengan baik pada sumsum
CLL adalah kanker sel limfosit dewasa. Sebagian besar dapat diderita oleh individu yang berusia lanjut (>60 tahun) dan jarang terjadi pada anak-anak. Pada CLL, banyak sel induk darah yang berubah menjadi B-limfosit (sel leukemia) tidak normal yang dewasa namun tidak bisa berfungsi dengan baik pada sumsum
4) Chronic
Myelogenous Leukemia (CML)
CML merupakan kanker sel myeloid yang terkait dengan adanya kromosom Philadelphia dan lebih umum terjadi pada orang dewasa. Selain itu, CML merupakan kanker sumsum tulang yang berkembang secara perlahan dan dapat disebabkan oleh kelainan kromosom karakteristik pada sel induk sumsum tulang
CML merupakan kanker sel myeloid yang terkait dengan adanya kromosom Philadelphia dan lebih umum terjadi pada orang dewasa. Selain itu, CML merupakan kanker sumsum tulang yang berkembang secara perlahan dan dapat disebabkan oleh kelainan kromosom karakteristik pada sel induk sumsum tulang
dan sel leukemia. Dalam
sel ini, bagian kromosom 9 bertukar tempat dengan bagian dari kromosom 22 yang
secara umum disebut dengan kromosom Philadelphia
yang menstimulasi sumsum tulang untuk memproduksi sel darah putih dalam jumlah
yang abnormal (Susan et al., 2008).
3. ETIOLOGI
DAN FAKTOR RISIKO
Penyebab dasar terjadinya leukemia
belum diketahui secara pasti atau ideopatik, tetapi terdapat faktor
predisposisi yang menyebabkan terjadinya leukemia menurut Virshup (2010) yaitu:
a.
Genetik
Penyimpangan kromosom insidensi leukemia
meningkat pada penderita
kelainan kongenital, diantaranya pada sindroma Down 20x lebih besar dari orang normal,
sindroma
Bloom,
Fanconi’s Anemia, sindroma Wiskott-Aldrich, sindroma Ellis vanCreveld, sindroma Kleinfelter,
D-Trisomy sindrome, sindroma von Reckinghausen, dan neurofibromatosis. Kelainan-kelainan
kongenital ini dikaikan erat dengan adanya perubahan DNA, misalnya pada
kromosom 21 atau C-group Trisomy atau pola kromosom yang tidak stabil seperti
pada aneuploidy. Jarang
ditemukan leukemia familial, tetapi terdapat insiden leukemia lebih tinggi dari
saudara kandung anak-anak yang terserang, dengan insiden yang meningkat sampai
20% pada kembar monozigot/identic (Tehuteru, 2011)
b.
Obat-obatan
Obat-obatan anti neoplastik (misal :
alkilator dan inhibitor topoisomere II) dapat mengakibatkan
penyimpangan kromosom yang menyebabkan AML. Kloramfenikol, fenilbutazon,
dan methoxypsoralen dilaporkan menyebabkan kegagalan sumsum tulang yang lambat
laun menjadi AML (Virshup, 2010).
c.
Radiasi
Radiasi dapat meningkatkan frekuensi
Leukemia Mielostik Akut (LMA), namun tidak berhubungan dengan Leukemia
Limfositik Kronis (LLK). Peningkatan resiko leukemia ditemui juga pada pasien
yang mendapat terapi radiasi misal: pembesaran thymic. Sedangkan, sinar
radioaktif merupakan faktor eksternal yang paling jelas dapat menyebabkan
leukemia pada binatang maupun pada manusia. Dibuktikan bahwa penderita yang
diobati dengan sinar radioaktif akan menderita leukemia pada 6% klien, dan baru
terjadi sesudah 5 tahun (Virshup, 2010).
d.
Leukemia Sekunder
Leukemia yang terjadi setelah
perawatan atas penyakit malignansi lain disebut Secondary Acute Leukemia (SAL)
atau treatment related leukemia.
Termasuk diantaranya penyakit Hodgin, limphoma, myeloma, dan kanker payudara .
Hal ini disebabkan karena obat-obatan yang digunakan termasuk golongan
imunosupresif dapat menyebabkan kerusakan DNA (Virshup, 2010) . Leukemia
biasanya mengenai sel-sel darah putih. Penyebab dari sebagian besar jenis
leukemia tidak diketahui. Pemaparan terhadap penyinaran (radiasi) dan bahan
kimia tertentu (misalnya benzena) dan pemakaian obat anti kanker, meningkatkan
resiko terjadinya leukemia. Orang yang memiliki kelainan genetik tertentu
(misalnya sindroma Down dansindroma Fanconi), juga lebih peka terhadap leukemia
(Tehuteru, 2011).
e.
Asupan Nutrisi
Asupan nutrisi sangat berguna untuk
memenuhi kebutuhan nutrisi dalam tubuh karena nutrisi ini juga akan
mempengaruhi fungsi organ tubuh untuk bekerja secara normal, terutama agar
tidak terjadi hematopoiesis abnormal. Asupan nutrisi yang kurang baik, seperti
sering mengkonsumsi bahan yang berpengawet dalam jangka lama bisa menyebabkan
leukemia.
f.
Riwayat Penyakit
Selain mengalami Leukemia, pasien juga
mengalami anemia dan pneumonia yang berkaitan dengan ikatan oksidasi hemoglobin,
apabila tidak mencapai standar normal yang dibutuhkan tubuh maka akan terjadi
hematopoiesis abnormal (Tehuteru, 2011).
g.
Infeksi virus
Pada awal 1980, di isolasi virus
HTLV-1 dan leukemia sel T manusia pada limfosit seorang penderita limfoma kulit
dan sejak itu diisolasi dan sempel serum penderita leukemia sel T (Tehuteru,
2011).
4. MANIFESTASI KLINIS
Sifat khas leukemia adalah
proliferasi tidak teratur/akumulasi sel darah putih dalam sumsum tulang,
menggantikan elemen sumsum tulang normal. Juga proliferasi di hati, limfa, dan
nodus limfatikus, serta invasi organ nonhematologis, seperti meningitis,
traktus gastrointestinal, ginjal dan kulit (Bakti Husada, 2011).
1.
Leukemia
Akut (National Cancer Institute , 2008)
Limfosit
imatur berproliferasi di sumsum tulang & jaringan perifer, serta
terakumulasi elisana. Hal diatas mengakibatkan adanya gangguan pada
perkembangan sel normal. Leukemia akut juga memperlihatkan gejala klinis yang
mencolok. Gejala leukemia akut dapat digolongkan menjadi 3 besar, yaitu:
1)
Gejala kegagalan sumsum tulang:
a.
Anemia menimbulkan gejala pucat, lemah,
letargi(kesadaran menurun), pusing, sesak, nyeri dada.
b.
Netropenia menimbulkan infeksi yang
ditandai oleh demam, infeksi rongga mulut, tenggorok, kulit, saluran nafas, dan
sepsis sampai syok septik. Pasien sering menunjukkan gejala
infeksi/perdarahan/keduanya pada waktu diagnosis.
c.
Trombositopenia menimbulkan easy
bruisisng, perdarahan mukosa, seperti perdarahan gusi, epistaksis, ekimusis,
(perdarahan dalam kulit), serta perdarahan saluran cerna dan sistem saluran kandung kemih.
d.
Anoreksia adalah tidak
adanya/hilangnya selera makan.
Pasien dengan jumlah sel darah putih meningkat secara nyata
dalam sirkulasi (jumlahnya melebihi 200.000/mm³) dapat menunjukkan gejala
hiperviskositas (Virshup, 2010). Gejala ini mencakup nyeri kepala, perubahan
penglihatan, kebingungan dan dispenia yang memerlukan leukoforensis segera
(pembuangan leukosit melalui pemisah sel).
2)
Keadaan hiperkatabolik, yang
ditandai oleh:
a.
Kaheksia merupakan sindrom yang
ditandai dengan penurunan berat badan yang progresif dan menurunnya jaringan
lemak dan otot abnormal. Hal ini dijumpai pada 40-85% dari pasien dengan
stadium terminal dan penyebab lebih dari 20% dari semua kematian akibat kanker
b.
Keringat malam (gejala
hipermetabolisme)
c.
Hiperurikemia yang dapat menimbulkan
gout dan gagal ginjal
d.
Demam dan banyak keringat (Virshup,
2010)
3)
Infiltrasi ke dalam organ
menimbulkan organomegali dan gejala lain, seperti:
a.
Nyeri tulang & nyeri sternum
karena infark tulang (infiltrate subperiosteal) karena infiltrasi sumsum tulang
oleh sel-sel leukemia.
b.
Limfadenopati, splenomegali dan
hepatomegali
c.
Hipertrofi gusi dan infiltrasi kulit
d.
Sindrom menigeal: sakit kepala, mual
muntah, mata kabur, kaku kuduk.
4)
Perdarahan kulit :
a.
Atraumatic ecchymosis: Bercak perdarahan
yang kecil pada kulit/membran mukosa, lebih besar dari petekia, yang membentuk
bercak biru/ungu yang bundar/tidak teratur serta tanpa elevasi.
b.
Petechiae
c.
Purpura: Perdarahan kecil didalam
kulit, membrane mukosa/ permukaan serosa.
5)
Perdarahan gusi
a.
Hepatomegali : pembesaran Hati
b.
Splenomegali : pembesaran Limpa
c.
Limfadenopati : ppnyakit Kelenjar
Limfe
d.
Massa di Medias tinum : sering pada
LLA sel T
e.
Leukemia sistem saraf pusat : nyeri
kepala, muntah (gejala tekanan tinggi intrakranial), perubahan pada status mental,
kelumpuhan saraf otak terutama saraf VI % VII, kelainan neurologik fokai.
f.
Keterlibatan organ lain: teksis,
retina, kulit, pleura, pericardium, tonsil. (Smelzer et al., 2008)
ALL merupakan
hasil dari injuri genetik pada DNA sel di sumsum tulang. penyakit ini biasanya
berhubungan dengan akut limfoblastik leukemia karena sel leukemia berpindah ke
sumsum tulang yang normal. Sebagian besar pasien kehilangan berat badan.
biasanya merasa sulit bernafas selama aktifitas fisik, dan tampak pucat karena
anemia. Hal ini merupakan tanda dari rendahnya jumlah trombosit yang dapat disertai
tanda kebiruan dan kehitaman tanpa diketahui penyebab yang jelas atau karena
injuri minor (Susan et al., 2008).
Bintik-bintik
merah dibawah kulit disebut petekie
atau perdarahan yang diperpanjang dari minor cots. Ketidaknyamanan pada tulang
dan sendi mungkin terjadi, serta secara umum klien mengalami peningkatan suhu
atau demam. Selain itu, leukemia limfoblas mungkin berkumpul di limfa sehingga
terjadi pembengkakan. Sel leukemia dapat tersimpan dalam otak atau spinalcord
dan menyebabkan sakit kepala atau vomiting.
Tanda dan
gejala leukemia akut berkaitan dengan neutropenia dan trombositopenia. Ini
adalah infeksi berat yang rekuren disertai timbulnya tukak pada membrane mukosa,
abses perirektal, pneumonia septicemia disertai menggigil, demam, takikardi,
takipnea. Komplikasi ini bertanggung jawab atas tingginya angka kematian yang
berhubungan dengan leukemia akut. Penyebab infeksi paling umum: staphilokokus, streptococcus dan bakteri
gram negatif usus, serta berbagai
spesies jamur (Murray, 2009).
Trombositopenia mengakibatkan perdarahan yang dinyatakan
dengan petekie, epitaksis (perdarahan hidung), hematoma pada membrane mukosa,
serta pendarahan saluran cerna dan system saluran kemih. Anemia bukan merupakan
manifestasi awal disebabkan karena umur eritrosit yang panjang (120 hari). Jika
terdapat anemia akan ditemukan pusing dan gejala kelelahan dan dipnea waktu
kerja fisik disertai pucat yang nyata (Virshup, 2010).
2.
Leukemia
Kronis (National Cancer Institute, 2008)
Leukemia kronis
tidak menampilkan gejala yang spesifik tetapi gejala yang dapat juga menjadi
gejala penyakit lain seperti demam tidak tinggi, letih, keringat dingin, perut
sering merasa tidak enak dan adakalanya terdapat juga pembesaran limfa.
Kadangkala juga terjadi kehilangan nafsu makan dan berat badan menurun.
Biasanya gejala-gejala ringan tersebut berlangsung selama 6-8 bulan (Smeltze et al., 2008).
5.
PATOFISIOLOGI
6. PEMERIKSAAN
DIAGNOSTIK
Gejala klinis dan pemeriksaan darah
lengkap dapat dipakai untuk menegakkan diagnosis leukemia. Namun untuk
memastikannya harus dilakukan pemeriksaan aspirasi sumsum tulang dan dilengkapi
dengan pemeriksaan radiografi dada, cairan serebrospinal, dan beberapa pemeriksaan
penunjang yang lain (Price & Wilson, 2008). Cara ini dapat mendiagnosis
sekitar 90% kasus, sedangkan sisanya memerlukan pemeriksaan lebih lanjut, yaitu
sitokimia, imunologi, sitogenetika, dan biologi molekuler. Pada pemeriksaan
darah lengkap didapatkan anemia, kelainan jumlah hitung jenis leukosit dan
trombositopenia. Bisa terdapat eosinofilia reaktif pada pemeriksaan preparat dan
apusan darah tepi didapatkan sel-sel blas (Virshup, 2010). Adapun
pemeriksaan penunjang pada Leukemia secara umum :
- Tes darah – laboratorium akan memeriksa jumlah sel – sel darah. Leukimia menyebabkan jumlah sel–sel darah putih meningkat sangat tinggi, dan jumlah trombosit dan hemoglobin dalam sel–sel darah merah menurun. Pemeriksaan laboratorium juga akan meneliti darah untuk mencari ada tidaknya tanda-tanda kelainan pada hati atau ginjal. Digunakan untuk mengetahui kadar Hb-Eritrosit, leukosit dan trombosit (Abdoerrachman dkk, 2008).
-
Hb
rendah < 10 g/100 ml
(N: dewasa: Pria 13,5-18 g/dl, wanita
12-16 g/dl; anak: 6 bln-1 th 10-15 g/dl, 5-14 th 11-16 g/dl)
-
Trombositopenia
< 50.000/mm
-
Leukosit
meningkat dapat lebih dari 200.000/mm3, normal atau menurun, kurang
dari 1000/mm³
b. Apusan Darah Tepi
Digunakan
untuk mengetahui morfologi sel darah berupa bentuk, ukuran, maupun warna
sel-sel darah, yang dapat menunjukkan kelainan hematologi (Abdoerrachman dkk, 2008).
c. Aspirasi Sumsum Tulang
Merupakan tes diagnostik yang sangat
penting untuk mendiagnostik dan menetapkan sel maligna. Adanya hiperseluler,
sel sumsum tulang diganti sel leukosit.
Perbedaan pada
pemeriksaan darah tepi dan sumsum tulang (Virshup, 2010)
Test
|
AML
|
ALL
|
CML
|
CLL
|
Darah
Tepi
|
-
sel
darah putih norma kurang/meningkat bisa disertai mieloblas
-
trombositopenia
-
anemia
|
-
sel
darah putih meningkat disertai limfositosis
-
hitung
sel darah putih dapat normal/berkurang
-
trombositopenia
-
anemia
|
-
sel
darah putih meningkat terutama granulosit
-
trombositopenia
-
anemia
|
-
meningkatkan
limfosit dewasa yang kecil
-
trombositopenia
-
anemia
|
Sum-
sum
tulang
|
Hiperseluler
50%
Mieloblas
|
Hiperseluler
disertai infiltrasi limfoblas
|
Jiperseluler
2% blas megakariosit
|
30%
limfosit
|
d.
Biopsi: dokter akan mengangkat sumsum tulang dari tulang
pinggul atau tulang besar lainnya. Ahli patologi kemudian akan memeriksa sampel
di bawah mikroskop, untuk mencari sel – sel kanker. Cara ini disebut biopsi,
yang merupakan cara terbaik untuk mengetahui pakah ada sel – sel leukemia di
dalam sumsum tulang (Abdoerrachman
dkk, 2008).
- Sitogenetik: Laboratorium akan memeriksa kromosom sel dari sampel darah tepi, sumsum tulang atau kelenjar getah bening.
- Processus Spinosus : dengan meggunakan jarum yang panjang dan tipis, dokter perlahan – lahan akan mengambil cairan cerebrospinal (cairan yang mengisi ruang di sekitar otak dan sumsum tulang belakang). Prosedur ini berlangsung sekitar 30 menit dan dilakukan dengan anastesi local. Pasien harus berbaring selama beberapa jam setelahnya, agar tidak pusing. Laboratorium akan memeriksa cairan apakah ada sel – sel Leukimia atau tanda – tanda penyakit lainnya.
- Sinar X pada dada – sinar X ini dapat mengetahui tanda–tanda penyakit di dada.
7. PENATALAKSANAAN
Umumnya pengobatan ditujukan terhadap penegahan kambuh
dan mendapatkan masa remisi yang lebih lama. Untuk mencapai keadaan tersebut
pada prinsipnya dipakai pola dasar pengobatan sebagai berikut :
- Induksi.Dimaksudkan untuk mencapai remisi, yaitu dengan pemberianberbagi obat tersebut diatas, baik secara sistematik maupun intratekal sampai sel blas dalam sumsum tulang kurang dari 5%.
- Konsolidasi. Yaitu agar sel yang tersisa tidak cepat memperbanyak diri.
- Rumat (maintenance). Untuk mempertahankan masa remisi, sedapat-dapatnya suatu masa remisi yang lama. Biasanya dilakukan dengan pemberian titostatika separuh dosis biasa.
- Reinduksi. Dimaksudkan untuk mencegah relaps. Reinduksi biasanya dilakukan setiap 3-6 bulan dengan pemberian obat-obat seperti pada induksi selama 10-14 hari.
- Mencegah terjadinya leukemia susunan saraf pusat. Untuk hal ini diberikan MTX intratekal pada waktu induksi untuk mencegah leukemia meningeal dan radiasi kranial sebanyak 2.400-2.500 rad. Untuk mencegah leukemia meningeal dan leukemia serebral. Radiasi ini tidak diulang pada reinduksi.
- Pengobatan imunotologik. Diharapkan semua sel leukemia dalam tubuh akan hilang sama sekali dan dengan demikian diharapkan penderita dapat sembuh sempurna (Bakti Husada, 2011).
Terdapat
beberapa penatalaksanaan yang dapat dilakukan untuk menangani kasuk ALL pada
anak, diantaranya adalah (Smeltzer et
al., 2008; Susan et al., 2009;
Tahuteru, 2011)
1) Penatalaksanaan Farmakologis
Ada banyak cara
penanganan yang dapat dilakukan pada penderita leukemia dan setiap penanganan
mempunyai keunggulan masing-masing. Tujuan pengobatan pasien leukemia adalah
meneapai kesembuhan total dengan menghancurkan sel-sel leukemia. Untuk itu,
penderita leukemia harus menjalani kemoterapi dan harus dirawat di rumah
sakit.Sebelum sumsum tulang kembali berfungsi normal, penderita mungkin
memerlukan transfusi sel darah merah untuk mengatasi anemia, transfusi
trombosit untuk mengatasi perdarahan, antibiotik untuk mengatasi infeksi.
Beberapa kombinasi dari obat kemoterapi sering digunakan dan dosisnya diulang
selama beberapa hari atau beberapa minggu. Secara umum penanganan pada penderita leukemia menurut American Cancer Society (2013) sebagai
berikut:
A. Kemoterapi
Sebagian besar pasien
leukemia menjalani kemoterapi. Jenis pengobatan kanker ini menggunakan
obat-obatan untuk membunuh sel-sel leukemia (Wong et al., 2008). Tergantung pada jenis leukemia, pasien bisa
mendapatkan satu jenis obat atau kombinasi dari dua obat atau lebih. Obat yang
digunakan sebagai agen kemoterapi pada ALL meliputi; prednisone, vinkristin
(Oncovin), daunorubisin (Daunomycin) dan Lasparaginase (Elspar). Selain itu,
terdapat obat-obatan lain yang dimasukkan pada pengobatan awal adalah 6merkaptopurin
(Purinethol) dan Metotreksat (Mexate) (Abdoerrachman
dkk, 2008).
Pasien leukemia bisa mendapatkan kemoterapi dengan
berbagai cara:
a)
Melalui mulut
b) Dengan suntikan langsung ke pembuluh darah (atau
intravena)
c) Melalui kateter (tabung kecil yang fleksibel) yang ditempatkan
di dalam pembuluh darah balik besar, seringkali di dada bagian atas - Perawat
akan menyuntikkan obat ke dalam kateter, untuk menghindari suntikan yang
berulang kali. Cara ini akan mengurangi rasa tidak nyaman dan/atau cedera pada
pembuluh darah/kulit.
d) Dengan suntikan langsung ke cairan cerebrospinal - jika ahli
patologi menemukan sel-sel leukemia dalam cairan yang mengisi ruang di otak dan
sumsum tulang belakang, dokter bisa memerintahkan kemoterapi intratekal. Dokter
akan menyuntikkan obat langsung ke dalam cairan cerebrospinal. Metode ini digunakan karena
obat yang diberikan melalui suntikan IV atau diminum seringkali tidak mencapai
sel-sel di otak dan sumsum tulang belakang.
Menurut Happy (2009)
terdapat beberapa strategi dasar untuk pengobatan ALL yang terdiri dari tiga
fase pelaksanaan kemoterapi, yaitu:
1)
Fase induksi Dimulasi
Tujuan dari tahap pertama pengobatan
adalah untuk membunuh sebagian besar sel-sel leukemia di dalam darah dan sumsum
tulang. Terapi induksi kemoterapi biasanya memerlukan perawatan di rumah sakit
yang panjang karena obat menghancurkan banyak sel darah normal dalam proses
membunuh sel leukemia.4-6 minggu setelah diagnosa ditegakkan. Pada fase ini
diberikan terapi kortikostreroid (prednison), vincristin dan L-asparaginase.
Fase induksi dinyatakan behasil jika tanda-tanda penyakit berkurang atau
tidak ada dan dalam sumsum tulangditemukan jumlah sel muda <5%.
2)
Fase Profilaksis Sistem saraf pusat
Profilaksis SSP diberikan untuk
mencegah kekambuhan pada SSP. Perawatan yang digunakan dalam tahap ini sering
diberikan pada dosis yang lebih rendah. Pada tahap ini menggunakan obat
kemoterapi yang berbeda, kadang-kadang dikombinasikan dengan terapi radiasi,
untuk mencegah leukemia memasuki otak dan sistem saraf pusat. Pada fase ini
diberikan terapi methotrexate, cytarabinedan hydrocotison melaui intrathecal
untuk mencegah invasi sel leukemia ke otak. Terapi irradiasi kranial dilakukan
hanya pada pasien leukemia yang mengalami gangguan sistemsaraf pusat (Murray,
2009).
3)
Konsolidasi
Pada fase ini kombinasi pengobatan
dilakukan untuk mempertahankan remisis dan mengurangi jumlah sel-sel leukemia
yang beredar dalam tubuh. Secara berkala, mingguan atau bulanan dilakukan
pemeriksaan darah lengkap untuk menilai respon sumsum tulang terhadap pengobatan. Jika
terjadi supresi sumsum tulang, maka
pengobatan dihentikan sementara atau dosis obat dikurangi. Terapi ini dapat
dilakukan setelah 6 bulan kemudian.
4)
Rumatan jangka Panjang (maintenance)
Tahap ini bertujuan untuk mempertahankan masa remisi yang
biasanya memerlukan waktu 2-3 tahun.
B. Kortikosteroid
Pemberian obat kortikosteroin meliputi golongan (rednison,
kortison, dan deksametason. Setelah dicapai remisi dosis dikurangi sedikit demi
sedikit dan akhirnya dihentikan (Murray, 2009).
C. Sitostatika
Selain sitostatika yang lama (6-merkaptopurin atau 6-mp,
metotreksat tau MTX) pada waktu ini dipakai pula yang baru dan lebih poten
seperti vinkristin (Oncovin), rudidomisin (daunorubycine), sitosin, arabinosid,
L-asparaginase, siklofosfamid atau CPA, adriamisin, dan sebagainya. Umunya
sitostatika diberikan dalam kombinasi bersama-sama dengan prednison. Pada
pemberian obat-obatan ini sering terdapat akibat samping berupa alopesia,
stomatitis, leukopenia, infeksi sekunder atau kandidiasis (Price & Wilson,
2008). Sebaiknya lebih berhati-hati apabila jumlah leukosit <2.000/mm3.
Infeksi sekunder dihindarkan (bila mungkin penderita diisolasi) dalam kamar
anak (Tehuteru, 2011).
2) Penatalaksanaan Non Farmakologi
A. Transplantasi
Sel Induk (Stem Cell)
Beberapa
pasien leukemia menjalani transplantasi sel induk (stem cell). Transplantasi sel induk
memungkinkan pasien diobati dengan dosis obat yang tinggi, radiasi, atau
keduanya. Dosis tinggi ini akan menghancurkan sel-sel leukemia sekaligus
sel-sel darah normal dalam sumsum tulang. Kemudian, pasien akan mendapatkan
sel-sel induk (stem cell)
yang sehat melalui tabung fleksibel yang dipasang di pembuluh darah besar di
daerah dada atau leher (Smeltzer et al., 2008).
Sel-sel darah yang baru akan tumbuh dari sel-sel induk (stem cell) hasil
transplantasi. Setelah transplantasi sel induk (stem cell), pasien biasanya harus menginap di
rumah sakit selama beberapa minggu. Tim kesehatan akan melindungi pasien dari
infeksi sampai sel-sel induk (stem
cell) hasil transplantasi mulai menghasilkan sel-sel darah putih
dalam jumlah yang memadai.
Transplantasi sumsum tulang
merupakan prosedur dimana sumsum tulang yang rusak digantikan dengan sumsum
tulang yang sehat. Sumsum tulang yang rusak dapat disebabkan oleh dosis tinggi
kemoterapi atau terapi radiasi. Selain itu, transplantasi sumsum tulang juga
berguna untuk mengganti sel-sel darah yang rusak karena kanker. Transplantasi
sumsu tulang dapat menggunakan sumsum tulang pasien sendiri yang masih sehat.
Hal ini disebuttransplantasi sumsum
tulang autologus. Transplantasi sumsum tulang juga dapat diperoleh dari orang
lain. Bila didapat dari kembar identik, dinamakan transplantasi syngeneic.
Sedangkan bila didapat dari bukan kembar identik, misalnya dari saudara
kandung, dinamakan transplantasi allogenik. Sekarang ini, transplantasi sumsum
tulang paling sering dilakukan secara allogenik (Tehuteru, 2011).
Efek samping transplantasi
sumsum tulang tetap ada, yaitu kemungkinan infeksi dan juga kemungkinan
perdarahan karena pengobatan kanker dosis tinggi. Hal ini dapat ditanggulangi
dengan pemberian antibiotik ataupun transfusi darah untuk mencegah anemia.
Apabila berhasil dilakukan transplantasi sumsum tulang, kemungkinan pasien
sembuh sebesar 70-80%, tapi masih memungkinkan untuk kambuh lagi. Kalau tidak dilakukan
transplantasi sumsum tulang, angka kesembuhan hanya 40-50%.Terapi stem cell
yang rutin digunakan untuk mengobati penyakit saat ini adalah transplantasi stem
cell dewasa dari sumsum tulang belakang dan darah perifer serta darah tali
pusat bayi (Bakti Husada, 2011).
a)
Stem Cell
Sumsum Tulang Belakang
Terapi stem cell yang dikenal baik sekarang ini adalah transplantasi
stem cell sumsum tulang belakang yang digunakan untuk mengobati leukimia
dan kanker lain yang termasuk penyakit keganasan darah. Leukimia adalah kanker
sel-sel darah atau leukosit (Smeltzer, 2008). Seperti sel-sel darah merah lain,
leukosit dibuat dalam sumsum tulang belakang melalui sebuah proses yang dimulai
dengan stem cell dewasa multipoten (dapat berdiferensiasi menjadi sel-sel
penting dalam tubuh). Leukosit dewasa dilepaskan ke dalam aliran darah dimana
mereka bekerja untuk melawan infeksi dalam tubuh. Disebut leukimia ketika
leukosit mulai tumbuh dan berfungsi abnormal menjadi kanker. Sel-sel abnormal
ini tidak dapat melawan infeksi dan dapat mengganggu fungsi organ lain.
Terapi leukimia bergantung pada menghilangkan leukosit abnormal pada pasien
dan membiarkan sel yang sehat untuk tumbuh pada tempatnya. Satu cara untuk
lakukan ini melalui kemoterapi menggunakan obat yang keras untuk mencari dan
membunuh sel-sel abnormal.Ketika kemoterapi sendiri tidak dapat menghancurkan
sel-sel abnormal, tenaga medis kadang lebih memilih transplantasi sumsum tulang
belakang.Pada transplantasi sumsum tulang belakang, stem cell sumsum
tulang belakang pasien tergantikan dengan donor sehat yang cocok. Untuk
melakukan hal ini, sumsum tulang belakang pasien dan leukosit abnormal
pertama-tama dihancurkan menggunakan kombinasi terapi dan radiasi. Selanjutnya,
sampel donor sumsum tulang belakang yang mengandung stem cell yang sehat
dimasukkan ke dalam aliran darah pasien. Jika transplantasi sukses, stem
cell akan berpindah ke sumsum tulang belakang pasien dan memproduksi
leukosit sehat yang baru untuk menggantikan sel-sel abnormal (Murray, 2009).
b)
Stem Cell
Darah Perifer
Sebagian besar stem cell darah tersimpan di dalam sumsum tulang
belakang, sementara sejumlah stem cell muncul dalam aliran darah. Stem
cell darah perifer multipoten dapat digunakan seperti sumsum tulang
belakang untuk mengobati leukemia, kanker lain dan berbagai gangguan darah.Stem
cell dari darah perifer lebih mudah untuk dikumpulkan dibandingkan dengan stem
cell sumsum tulang belakang yang harus diekstrak dari dalam tulang. Hal ini
yang membuat stem cell darah perifer merupakan pilihan pengobatan yang
tidak seefektif stem cell sumsum tulang belakang. Karena ternyata, stem
cell darah perifer jumlahnya sedikit dalam aliran darah sehingga
mengumpulkan untuk melakukan transplantasi dapat menimbulkan masalah (Murray,
2009)..
c)
Stem Cell
Darah Tali Pusat
Bayi baru lahir tidak membutuhkan tali pusat sehingga tali pusat ini akan
dibuang. Dalam beberapa tahun ini, darah kaya akan stem cell multipoten
ditemukan dalam tali pusat terbukti berguna dalam mengobati beberapa jenis
masalah kesehatan yang sama pada pasien yang diterapi dengan stem cell sumsum
tulang belakang dan darah perifer (Murray, 2009). Transplantasi stem cell
darah tali pusat lebih sedikit untuk ditolak dibandingkan stem cell
sumsum tulang belakang dan darah perifer. Hal ini mungkin disebabkan stem
cell sumsum tulang belakang dan darah perifer belum berkembang sehingga
dapat dikenali dan diserang oleh kekebalan tubuh resipien.Juga, karena darah
tali pusat baru memiliki sedikit sel-sel kekebalan yang berkembang, sehingga
risiko kecil sel-sel yang ditransplantasi akan menyerang tubuh resipien, sebuah
masalah yang disebut penyakit graft versus host (Virshup, 2010). Baik keanekaragaman dan ketersediaan stem
cell darah tali pusat membuat menjadi sumber poten untuk terapi
transplantasi.Terapi stem cell seakan menjadi titik terang dalam dunia gelap
yang dihadapi para penderita penyakit keganasan darah seperti multiple
myeloma, chronic lymphatic leukemia,dan thallasemia mayor.
Tapi ternyata, tidak hanya mereka melainkan penderita penyakit lainnya juga
dapat disembuhkan karena terapi stem cell di luar negeri telah terbukti
berhasil mengobati penyakit, infark miokard jantung, stroke, alzheimer, dan
lain-lain.
3)
Imunoterapi
Imunoterapi,
merupakan cara pengobatan yang terbaru. Setelah tercapai remisi dan jumlah sel
leukemia cukup rendah (105-106), imunoterapi mulai
diberikan (Bakti Husada, 2011). Pengobatan yang aspesifik dilakukan dengan
pemberian imunisasi BCG atau dengan Corynae bacterium dan dimaksudkan agar
terbentuk antibodi yang dapat memperkuat daya tahan tubuh. Pengobatan spesifik
dikerjakan dengan penyuntikan sel leukemia yang telah diradiasi. Dengancara ini
diharapakan akan terbentuk antibodi yang spesifik terhadap sel leukemia,
sehingga semua sel patologis akan dihancurkan sehingga diharapkan penderita
leukemia dapat embuh sempurna.BCG diberikan 2 minggu setelah VCR kedua pada
reinduksi pertama. Dosis 0,6 ml intrakutan, diberikan pada 3 tempat
masing-masing 0,2 ml. Suntikan BCG diberikan 3 kali dengan interval 4 minggu. Selama pengobatan ini, obat-obat rumit
diteruskan.
4)
Terapi
Biologi
Orang dengan jenis penyakit leukemia tertentu menjalani
terapi biologi untuk meningkatkan daya tahan alami tubuh terhadap kanker. Terapi ini diberikan melalui suntikan di dalam pembuluh
darah balik (vena). Bagi pasien dengan leukemi limfositik kronis, jenis terapi
biologi yang digunakan adalah antibodi monoklonal yang akan mengikatkan diri
pada sel-sel leukemia. Terapi ini memungkinkan sistem kekebalan untuk membunuh
sel-sel leukemia di dalam darah dan sumsum tulang. Bagi penderita dengan
leukemia myeloid kronis, terapi biologi yang digunakan adalah bahan alami
bernama interferon untuk memperlambat pertumbuhan sel-sel leukemia (Bakti
Husada, 2011).
5) Terapi sitotoksik leukaemia mieloblastik akut
Terapi pada AML serupa dengan yang dijelaskan untuk ALL tetapi hasilnya
kurang baik. Rejimen yang tersering digunakan untuk AML adalah kombinasi tiha
obat citosin arabinosida, daunoribisin dan 6-tioguanin. Kasus semua subtipe AML
(FAB m1-m6) diobati serupa (kecuali bahwa DIC mungkin ada
pada varian promielositik (M3) dan “piatelet concentrates” dan
plasma beku segar untuk memlengkapi faktora pembekuan, digunakan sampai dicapai
remisi) (Bakti Husada, 2011).
a.
Angka
remisi lebih rendah (60% - 80%).
b.
Remisi
sering memakan waktu lebih lama untuk dicapai.
c.
Hanya obat mielotoksik yang bernilai besar, dengan kurang
selektivitas antara sel leukaemik dan sel sumsum tulang normal.
d.
Kegagalan sumsum tulang berat dan lama, perawatan
penunjang intensif dibutuhkan dan kematian dini biasa terjadi, khususnya pada
pasien diatas 50 tahun.
e.
Remisi lebih sebentar, nilai terapi pemeliharaan kurang
jelas, dan jarang bertahan hidup lama.
8. KOMPLIKASI
Terdapat beberapa komplikasi yang
dapat terjadi akibat dari Leukemia, diantaranya adalah (Price & Wilson,
2008: Smeltzer et al., 2008):
a.
Febrile Neutropenia
Febrile neutropenia merupakan sebuah komplikasi yang
sering terjadi pada pasien dengan kanker. Febrile
Neutropenia merupakan suatu keadaan pasien ketika suhu tubuhnya melalui temperatur
oral mencapai >38,5oC atau >38,0oC selama 2 jam dan
jumlah hitung neutrophil <500 sel/mm3 atau <1000 sel/mm3 yang diprediksi
akan menurun sampai <500 sel/mm3. Febrile neutropenia merupakan suatu
perkembangan dari demam, sering disertai tanda-tanda infeksi, seperti
neutropenia, dengan jumlah hitung abnormal rendah dari granulosit neutrophil (tipe
sel darah putih).
b.
Trombositopenia.
Merupakan kondisi yang
terjadi akibat kurangnya jumlah platelet atau trombosit, sel darah yang
berperan penting pada proses pembekuan darah (N 150000-450000 gr/dL). Jika
nilai trombosit turun maka akan mempermudah terjadinya perdarahan pada mukosa
bibir dan perdarahan di dalam tubuh maupun di perifer.
c.
Abses perirectal merupakan kondisi di mana rongga
rektum terisi dengan nanah dan nanah tersebut muncul di sekitar anus. Gejala yang
terjadi dapat berupa demam, sembelit, kesulitan dalam buang air kecil.
Kadang-kadang rektum dapat terasa panas, nyeri dan bengkak.
d.
Pneumonia septicemia disertai
menggigil, demam, takikardi, takipnea.
ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN LEUKEMIA
A. PENGKAJIAN PADA LEUKEMIA
MELIPUTI :
- Riwayat penyakit sebelumnya dan riwayat penyakit yang ada dikeluarga
- Kaji adanya tanda-tanda anemia : pucat, kelemahan, sesak, nafas cepat (hiperventilasi)
- Kaji adanya tanda-tanda leucopenia: demam dan adanya Infeksi
- Kaji adanya tanda-tanda trombositopenia : ptechia, purpura, dan perdarahan membran mukosa
- Kaji adanya tanda-tanda invasi ekstra medulola : Limfadenopati, Hepatomegali, dan Splenomegali
- Kaji adanya pembesaran testis
- Kaji adanya : Hematuria, Hipertensi, Gagal ginjal, Inflamasi disekitar rektal, dan rasa nyeri pada ekstermitas atas maupun ektermitas bawah
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
NO
|
Diagnosa
|
Kriteria Hasil
|
Intervensi
|
1
|
Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan perdarahan dan
kekurangan volume cairan
|
-
Tujuan
: Setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam kebutuhan cairan terpenuhi
dengan kriteria hasil klien
-
Klien menunjukkan volume cairan adekuat dibuktikan dengan TTV stabil dan
haluaran urine (berat jens dan pH dalam batas normal)
|
1. Monitor
intake dan output cairan
2. Timbang BB
anak setiap hari (J/P)
3. Monitor
TTV, terutama Nadi dan Suhu, serta RR
4. Perhatikan
adanya mual, demam
5.
Dorong cairan sampai 3-4 L/ hari bia masukan oral dimulai
6. Kolaborasi
pemberian cairan IV sesuai indikasi
|
2
|
Ketidakseimbangan
nutrisi:
kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan anoreksia, malaise, mual
dan muntah, efek samping kemoterapi dan atau stomatitis
|
-
Tujuan
: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 7x24 jam pasien mendapat nutrisi yang adekuat.
-
Kriteria Hasil: tidak terjadi penurunan BB, terjadi
peningkatan BB meningkat, TTV normal, nafsu makan meningkat, mual (-), muntah
(-)
|
1.
Dorong
orang tua untuk tetap rileks pada saat anak makan
2.
Izinkan
anak memakan semua makanan yang dapat ditoleransi, rencanakan unmtuk
memperbaiki kualitas gizi pada saat selera makan anak meningkat
3.
Berikan
makanan yang disertai suplemen nutrisi gizi, seperti susu bubuk atau suplemen
yang dijual bebas
4.
Izinkan
anak untuk terlibat dalam persiapan dan pemilihan makanan
5.
Dorong
masukan nutrisi dengan jumlah sedikit tapi sering
6.
Dorong
pasien untuk makan diet tinggi kalori kaya nutrient
7.
Timbang
BB, ukur TB dan ketebalan lipatan kulit trisep
|
3
|
Nyeri yang berhubungan
dengan efek fisiologis dari leukemia
|
-
Tujuan
: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam pasien tidak mengalami nyeri atau
nyeri menurun sampai tingkat yang dapat diterima anak.
-
Kriteria Hasil: klien melaporkan nyeri berkurang, skala
nyeri turun menjadi ringan 1-3, klien tampak lebih tenang
|
1.
Observasi
tingkat nyeri dengan skala 0 sampai 10
2.
Jika
mungkin, gunakan prosedur-prosedur (misal pemantauan suhu non invasif, alat
akses vena
3.
Evaluasi
efektifitas penghilang nyeri dengan derajat kesadaran dan sedasi
4.
Lakukan
teknik pengurangan
5.
Berikan
obat-obat anti nyeri
|
DAFTAR PUSTAKA
Abdoerrachman,
dkk. 2008. Ilmu Kesehatan Anak Buku I. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI
American Cancer
Society, 2014. Childhood Leukemia. [Online] Available from:
http://www.cancer.org/acs/groups/cid/documents/webcontent/003095-pdf. [diakses 4 Januari 2018]
http://www.cancer.org/acs/groups/cid/documents/webcontent/003095-pdf. [diakses 4 Januari 2018]
Bakti Husada, 2011. Pedoman Penemuan Dini Kanker Pada Anak. Kementerian
Kesehatan RI Direktorat Jendral PP & PL Direktorat Pengendalian Penyakit
Tidak Menular. [online] tersedia di:
Kesehatan RI Direktorat Jendral PP & PL Direktorat Pengendalian Penyakit
Tidak Menular. [online] tersedia di:
Happy, Hayati. 2009. Pengaruh Distraksi. Jakarta: FK UI
Murray, R.K, 2009. Sel Darah Merah dan Putih. Dalam: Murray, R.K., Granner,
D.K., Rodwell, V.W., ed. Biokimia Harper Edisi 27. Jakarta: EGC. p636–645.
D.K., Rodwell, V.W., ed. Biokimia Harper Edisi 27. Jakarta: EGC. p636–645.
Price and Wilson. 2008. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi
6. Vol.2. Jakarta : EGC
Smeltzer et al. 2008. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner Suddarth. Jakarta: EGC
Susan, M. T.,
Mary, M. Canabbio, E. Y. P., Majorie, F. W. 2008. Standar
Perawatan Pasien, volume 4, Jakarta:
EGC.
Tehuteru, E.S., 2011. Gambaran Tingkat Remisi pada
Leukemia Limfoblastik
Akut setelah Fase Induksi di Bangsal Kanker Anak RS Kanker “Dharmais”.
Indonesian Journal of Cancer Vol. 5 No. 4. Available from :
http://indonesianjournalofcancer.or.id/ejournal/index.php/ijoc/article/view/190.pdf. [diakses 4 Januari 2018]
Akut setelah Fase Induksi di Bangsal Kanker Anak RS Kanker “Dharmais”.
Indonesian Journal of Cancer Vol. 5 No. 4. Available from :
http://indonesianjournalofcancer.or.id/ejournal/index.php/ijoc/article/view/190.pdf. [diakses 4 Januari 2018]
Virshup, D.M. 2010. Biology, Clinical Manifestation, and
Treatment of Cancer.
Dalam: S.E. Huether, et al. Pathophysiology: The Biologic Basis for
Disease in Adults and Childhood. Missouri : Mosby Elsevier, 2010.
Dalam: S.E. Huether, et al. Pathophysiology: The Biologic Basis for
Disease in Adults and Childhood. Missouri : Mosby Elsevier, 2010.
Komentar
Posting Komentar