PERITONITIS
LAPORAN
PENDAHULUAN
“PERITONITIS”
1. KONSEP DASAR
PENYAKIT PERITONITIS
1.1. Definisi
Peritonitis adalah peradangan peritoneum yang biasanya
disebabkan oleh infeksi. Peritoneum adalah lapisan membran serosa rongga
abdomen dan meliputi visera (Smeltzer & Bare, 2002). Peritoneum adalah
selaput tipis dan jernih yang kaya akan vaskularisasi dan aliran limpa
berfungsi untuk membungkus organ perut dan dinding perut sebelah dalam (Price
& Wilson, 2006).
Peritonitis adalah inflamasi peritoneum,
lapisan membran serosa rongga abdomen dan meliputi visera yang merupakan
penyulit berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronik /
kumpulan tanda dan gejala, diantaranya nyeri tekan dan nyeri lepas pada
palpasi, defans muscular dan tanda – tanda umum inflamasi. ( Santosa, 2005)
Peritonitis adalah suatu peradangan dari
peritoneum, pada membran serosa, pada bagian rongga
perut. (Andra, 2007)
1.2. Etiologi
1. Infeksi bakteri
· Kuman yang paling sering ialah
bakteri Coli, streptokokus alpha dan beta hemolitik, stapilokokus aureus,
enterokokus dan yang paling berbahaya adalah clostridium wechii.
· Mikroorganisme berasal dari
penyakit saluran gastrointestinal
· Appendiksitis yang meradang
dan perforasi
· Tukak peptik (lambung /
dudenum)
· Tukak thypoid
· Tukak pada tumor
2. Secara langsung dari luar.
· Operasi yang tidak steril
· Terkontaminasi talcum venetum,
lycopodium, sulfonamida, terjadi peritonitisyang disertai pembentukan jaringan
granulomatosa sebagai respon terhadap benda asing, disebut juga peritonitis
granulomatosa
· Trauma pada kecelakaan
peritonitis lokal seperti rupturs limpa, ruptur hati
· Melalui tuba fallopius seperti
cacing enterobius vermikularis.
3. Secara hematogen sebagai
komplikasi beberapa penyakit akut seperti radang saluran pernapasan bagian
atas, otitis media, mastoiditis, glomerulonepritis. Penyebab utama adalah
streptokokus atau pneumokokus.
1.3. Faktor Resiko
Ø Apendisitis
Ø Divertikulitis
Ø Ulser peptik
Ø Kantung empedu
mengalami perforasi atau ruptur
Ø Perforasi traktur
GI
Ø Ruptur tuba
falopi, kandung kemih, ulser gastrik atau pelepasan enzim pankreatik
Ø Obstruksi
Strangulasi
Ø Volvulus
1.4. Diagnosa Banding
Diagnosis banding dari peritonitis antara lain :
Ø Apendisitis
Ø Pankreatitis
Ø Gastroenteritis
Ø Kolesistitis
Ø Salpingitis
Ø Kehamilan ektopik terganggu
Ø dll.
1.5. Klasifikasi
Menurut Rasad (1999) berdasarkan patogenesis
peritonitis dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a). Peritonitis Bakterial Primer
Merupakan
peritonitis akibat kontaminasi bakterial secara hematogen pada cavum peritoneum
dan tidak ditemukan fokus infeksi dalam abdomen. Penyebabnya bersifat
monomikrobial, biasanya E. Coli, Sreptococus atau Pneumococus. Peritonitis
bakterial primer dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Spesifik : misalnya
Tuberculosis
2. Non spesifik: misalnya
pneumonia non tuberculosis an Tonsilitis.
Faktor
resiko yang berperan pada peritonitis ini adalah adanya malnutrisi, keganasan
intraabdomen, imunosupresi dan splenektomi. Kelompok resiko tinggi adalah
pasien dengan sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus eritematosus
sistemik, dan sirosis hepatis dengan asites.
b). Peritonitis bakterial akut
sekunder (supurativa)
Peritonitis
yang mengikuti suatu infeksi akut atau perforasi tractusi gastrointestinal atau
tractus urinarius. Pada umumnya organisme tunggal tidak akan menyebabkan
peritonitis yang fatal. Sinergisme dari multipel organisme dapat memperberat
terjadinya infeksi ini. Bakterii anaerob, khususnya spesies Bacteroides, dapat
memperbesar pengaruh bakteri aerob dalam menimbulkan infeksi.
Selain
itu luas dan lama kontaminasi suatu bakteri juga dapat memperberat suatu
peritonitis. Kuman dapat berasal dari:
-
Luka/trauma
penetrasi, yang membawa kuman dari luar masuk ke dalam cavum peritoneal.
-
Perforasi
organ-organ dalam perut, contohnya peritonitis yang disebabkan oleh bahan kimia, perforasi
usus sehingga feces keluar dari usus.
-
Komplikasi
dari proses inflamasi organ-organ intra abdominal, misalnya appendisitis.
c). Peritonitis tersier, misalnya:
-
Peritonitis
yang disebabkan oleh jamur
-
Peritonitis
yang sumber kumannya tidak dapat ditemukan.
Merupakan
peritonitis yang disebabkan oleh iritan langsung, seperti misalnya empedu, getah
lambung, getah pankreas, dan urine.
d). Peritonitis Bentuk lain dari
peritonitis:
-
Aseptik/steril
peritonitis
-
Granulomatous
peritonitis
-
Hiperlipidemik
peritonitis
-
Talkum
peritonitis
1.6. Manifestasi
Klinis
-
Mual
-
Muntah
-
Demam tinggi (39.4 C)
-
Nyeri tumpul di abdomen
-
Bisa terbentuk beberapa abses
-
Infeksi dapat meninggalkan jaringan parut dalam bentuk pipa jaringan
(perlengketan,adhesi) yang dapat menyumbat usus
-
Dehidrasi
-
Nyeri tajam saat bergerak/batuk
-
Nyeri menyebar ke bahu
-
Itirasi diafragma
-
Distensi abdomen
-
Adanya nyeri lepas saat di palpasi
-
Suara bising usus menghilang
-
Diare
-
Disuria bila peritonitis pelvik
-
Rigiditas abdominal
-
Perubahan kebiasaan usus (konstipasi)
-
Anoreksia
-
Kulit dingin
-
Motilitas intenstinal menurun
-
Meningkatnya produksi keringat
-
Cegukan
-
Hipokalemia
-
Hipotensi
-
Pucat
-
Ileus paralitik
-
Napas dangkal
-
Takikardi
-
Malaise / kelelahan
-
Nyeri abdomen mendadak parah
1.7. Patofisiologi
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi
oleh bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa, yang menempel menjadi satu
dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Bila bahan-bahan
infeksi tersebar luas pada pemukaan peritoneum atau bila infeksi menyebar,
dapat timbul peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul
ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan
elektrolit hilang ke dalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan
sirkulasi, dan oliguri. Peritonitis menyebabkan penurunan aktivitas
fibrinolitik intraabdomen (meningkatkan aktivitas inhibitor aktivator
plasminogen) dan sekuestrasi fibrin dengan adanya pembentukan jejaring
pengikat. Produksi eksudat fibrin merupakan mekanisme terpenting dari sistem
pertahanan tubuh, dengan cara ini akan terikat bakteri dalam jumlah yang sangat
banyak di antara matriks fibrin.
Pembentukan abses pada peritonitis
pada prinsipnya merupakan mekanisme tubuh yang melibatkan substansi pembentuk
abses dan kuman-kuman itu sendiri untuk menciptakan kondisi abdomen yang
steril. Pada keadaan jumlah kuman yang sangat banyak, tubuh sudah tidak mampu
mengeliminasi kuman dan berusaha mengendalikan penyebaran kuman dengan
membentuk kompartemen - kompartemen yang kita kenal sebagai abses. Masuknya
bakteri dalam jumlah besar ini bisa berasal dari berbagai sumber. Yang paling
sering ialah kontaminasi bakteri transien akibat penyakit viseral atau
intervensi bedah yang merusak keadaan abdomen. Selain jumlah bakteri transien
yang terlalu banyak di dalam rongga abdomen, peritonitis terjadi juga memang
karena virulensi kuman yang tinggi hingga mengganggu proses fagositosis dan
pembunuhan bakteri dengan neutrofil. Keadaan makin buruk jika infeksinya
dibarengi dengan pertumbuhan bakteri lain atau jamur, misalnya pada peritonitis
akibat koinfeksi Bacteroides fragilis dan bakterigram negatif, terutama E.
coli. Isolasi peritoneum pada pasien peritonitis menunjukkan jumlah Candida
albicans yang relatif tinggi, sehingga dengan menggunakan skor APACHE II (acute physiology and cronic health
evaluation) diperoleh mortalitas tinggi, 52%, akibat kandidosis tersebut. Saat
ini peritonitis juga diteliti lebih lanjut karena melibatkan mediasi respon
imun tubuh hingga mengaktifkan systemic inflammatory response syndrome (SIRS)
dan multiple organ failure (MOF).
(Pathway
terlampir)
1.8. Pemeriksaan
Diagnostik
1.
Test
laboratorium
a. Leukositosis
Pada
peritonitis tuberculosa cairan peritoneal mengandung banyak protein (lebih dari
3 gram/100 ml) dan banyak limfosit, basil tuberkel diidentifikasi dengan kultur.
Biopsi peritoneum per kutan atau secara laparoskopi memperlihatkan granuloma
tuberkuloma yang khas, dan merupakan dasar diagnosa sebelum hasil pembiakan
didapat.
b. Hematokrit
meningkat
c. Asidosis
metabolic (dari hasil pemeriksaan laboratorium pada
pasien peritonitis didapatkan PH =7.31, PCO2= 40, BE= -4 ).
2.
X-Ray
Dari tes X-Ray didapat :
Foto polos abdomen 3
posisi (anterior, posterior, lateral), didapatkan:
a. Illeus merupakan penemuan yang tak khas pada peritonitis.
b. Usus halus dan usus besar dilatasi.
c. Udara bebas dalam rongga abdomen terlihat pada kasus
perforasi.
3.
Gambaran
Radiologis
Pemeriksaan
radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk pertimbangan dalam
memperkirakan pasien dengan abdomen akut. Pada peritonitis dilakukan foto polos abdomen 3
posisi, yaitu :
a.
Tiduran terlentang (supine), sinar dari arah vertikal
dengan proyeksi anteroposterior.
b.
Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau
memungkinkan, dengan sinar dari arah horizontal proyeksi anteroposterior.
c.
Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD),
dengan sinar horizontal proyeksi anteroposterior.
Sebaiknya
pemotretan dibuat dengan memakai kaset film yang dapat mencakup seluruh abdomen
beserta dindingnya. Perlu disiapkan ukuran kaset dan film ukuran 35x43 cm.
Sebelum terjadi peritonitis, jika penyebabnya adanya gangguan pasase usus
(ileus) obstruktif maka pada foto polos abdomen 3 posisi didapatkan gambaran
radiologis antara lain:
1)
Posisi tidur, untuk melihat distribusi usus,
preperitonial fat, ada tidaknya penjalaran. Gambaran yang
diperoleh yaitu pelebaran usus di proksimal daerah obstruksi, penebalan dinding usus, gambaran
seperti duri ikan (Herring bone appearance).
2)
Posisi
LLD, untuk melihat air fluid level dan kemungkinan perforasi usus. Dari air
fluid level
dapat diduga gangguan pasase usus. Bila air fluid level pendek berarti
ada ileus letak tinggi,
sedang jika panjang-panjang
kemungkinan gangguan di kolon.Gambaran yang diperoleh adalah
adanya udara bebas infra diafragma dan air fluid level.
3)
Posisi setengah duduk atau berdiri. Gambaran radiologis diperoleh adanya
air fluid level dan step ladder appearance.
1.9. Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi pada
peritonitis bakterial akut sekunder, dimana komplikasi tersebut dapat dibagi
menjadi komplikasi dini dan lanjut, yaitu:
a. Komplikasi dini
1. Septikemia dan syok septic.
2. Syok hipovolemik.
3. Sepsis intra abdomen rekuren
yang tidak dapat dikontrol dengan kegagalan
multisystem.
4. Abses residual
intraperitoneal.
5. Portal Pyemia (misal abses
hepar).
b. Komplikasi lanjut
1. Adhesi.
2. Obstruksi intestinal rekuren.
1.10.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan peritonitis menurut
Baughman, Diane C & JoAnn Hackley (2000) adalah sebagai berikut:
1. Penggantian cairan, koloid,
dan elektrolit merupakan fokus
utama dari penatalaksanaan medis
2. Analgesik untuk nyeri,
antiemetic untuk mual dan muntah
3. Intubasi dan penghisapan usus
untuk menghilangkan distensi abdomen
4. Terapi oksigen dengan nasal
kanul atau masker untuk memperbaiki fungsi ventilasi
5. Kadang dilakukan intubasi
jalan napas dan bantuan ventilator juga diperlukan
6. Terapi antibiotic massif
(sepsis merupakan penyebab kematian utama)
7. Tujuan utama tindakan bedah
adalah untuk membuang materi penginfeksi dan diarahkan pada eksisi, reseksi,
perbaikan, dan drainase.
Penatalaksanaan
Farmakologi
Ø Ampisilin
Golongan / kelas terapi : Anti Infeksi
Indikasi : Pengobatan infeksi yang peka
(non-betalaktamase-producting organism); bakteri yang disebabkan oleh streptococci, pneumococci nonpenicillinase-producting staphilocochi, listeria,
meningococci; turunan H. Influenzae, salmonella, Shigella, E. coli, Enterobakter,
dan Klebsiella.
Dosis dewasa : Oral à 250 – 500 mg tiap 6 jam
IM.
IV à 50 – 100 mg/kg BB/hari setiap jam
Lama
pemberian :Lama pemberian ampicilin
tergantung pada tipe dan tingkat kegawatan serta tergantung juga pada respon
klinis dan bakteri penginfeksinya
Cara
pemberian : Disesuaikan dengan jeda waktu
yang telah ditetapkan untuk mempertahankan kadar obat dalam plasma. Diberikan
dalam keadaan perut kosong untuk memaksimalkan absorbsi (1 jam sebelum makan
dan 2 jam setelah makan)
Kontraindikasi :Kontraindikasi untuk pasien yang hipersensitif terhadap amocsicillin,
penisilin, atau komponen lain dalam sediaan.
Efek
samping : SSP à demam, penisilin
enchepalitis, kejang
Kulit à eritema multiform, rash,
utikaria
GI à lidah hitam berambut, diare,
enterochollitis, glossitis,
mual, pseudomembranouscollitis, sakit mulut
dan lidah, stomatitis, muntah.
Hematologi à agranulositosis, anemia,
eosinophilia,leucopenia,thrombocytope nia
purpura
Hepatik à AST meningkat
Renal à interstisial nephritin
(kejang)
Respiratory à laringuela stidor
Miscellaneous à anaphylaxis
Ø Gentamisin
Golongan/ kelas terapi : Anti Infeksi
Indikasi : Gram-negatif (Pseudomonas,
Proteus, Serretia) dan gram-positif (Staphylococcus), infeksi tulang, infeksi
saluran napas, infeksi kulit dan jaringan lunak, infeksi saluran urin, abdomen,
endokarditis, dan septicemia penggunaan topical, dan profilaksis untuk bakteri
endokarditis dan tindakan bedah
Dosis
dewasa : Diberikan secara I.V atau
I.M
Konfensional
à
1 – 2,5 mg/kg BB/dosis setiap 8 – 12 jam untuk mendapatkan kadar puncak secara
cepat pada terapi
Dosis
tunggal à 4 – 7 mg/kg BB/dosis tunggal/hari
Kontraindikasi : Hipersensitif terhadap Gentamisin
& Aminoglikosida Lain
Efek samping :
SSP
à neurotosisitas (vertigo, ataxia)
Cardiovaskuler à edema
Ginjal à nefrotoksik (meningkatkan
klirens keratin)
Kulit à rash, gatal, kemerahan
Neuromuskular & Skeletal à gait instability
Optic
à ototoksisitas (vestibular)
Ø Metronidazol
Golongan/ kelas terapi : Anti Infeksi
Indikasi : Infeksi anaerobic (termasuk
gigi), termasuk protozoa, eradikasi Helicobacter pylori; infeksi kulit
Dosis : Infeksi anaerobic (pengobatan
biasanya selama 7 hari dan 10 hari untuk penggunaan antibiotika pada pengobatan
colitis).
Oral à dosis awal 800 mg kemudian 400
mg setiap 8 jam atau 500 mg setiap 8 jam selama 3 hari.
Infus I.V à lebih dari 20 menit, 500 mg
setiap 8 jam.
Kontraindikasi : Hipersensitifitas terhadap
metronidazol, turunan nitromidazol, atau komponen yang ada dalam
persediaan.
Efek
samping : SSP à mengantuk, sakit kepala,
pusing, ataksia, pheripheral neuropathy, transient epilepsy-form seizure
GI à mual, muntah, gangguan pengecapan, lidah kasar, dan
gangguan saluran pencernaan
Kulit à rash, eritema multiform,
pruritus, utikaria, angiodema dan anafilaksis
Hematologi à trombositopenia, anemia
aplastik, leukopenia
Hepatik à abnormalitas tes fungsi hati,
hepatitis, jaundice
Renal à urin berwarna gelap
Ø Cefotaxim
Pemberian
I.V minimal 2 gram tiap 12 jam selama 5 hari
Ø Kombinasi
1 gr amoxicillin dan 0,2 gr asam klavunat
Diberikan I.V 4 kali sehari
Ø Ofloxacin
Diberikan secara oral 400 mg setiap 12 jam. Pemberian
ofloxacin peroral ini menguntungkan bagi pasien PBS (Peritonitis Bakterial
Skunder) tanpa komplikasi yang tidak perlu dirawat.
Ø Profilaksis
Norfloxacin
400 mg tiap 12 jam selama 7 hari. Pada pasien yang baru sembuh dari PBS maka
Norfloxacin diberikan paling sedikit selama 6 bulan.
Penatalaksanaan Non
Farmakologi
Management peritonitis tergantung
dari diagnosis penyebabnya. Hampir semua penyebab peritonitis memerlukan
tindakan pembedahan (laparotomi eksplorasi). Pertimbangan dilakukan pembedahan antara lain:
1. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan defans muskuler yang meluas, nyeri tekan terutama
jika meluas, distensi perut, massa yang nyeri, tanda perdarahan (syok, anemia
progresif), tanda sepsis (panas tinggi, leukositosis), dan tanda iskemia
(intoksikasi, memburuknya pasien saat ditangani).
2.
Pada pemeriksaan radiology
didapatkan pneumo peritoneum, distensi usus, extravasasi bahan kontras, tumor,
dan oklusi vena atau arteri mesenterika.
3.
Pemeriksaan endoskopi didapatkan
perforasi saluran cerna dan perdarahan saluran cerna yang tidak teratasi.
4.
Pemeriksaan laboratorium.
Pembedahan
dilakukan bertujuan untuk :
1.
Mengeliminasi sumber infeksi.
2.
Mengurangi kontaminasi bakteri pada
cavum peritoneal
3.
Pencegahan infeksi intra abdomen
berkelanjutan.
Apabila
pasien memerlukan tindakan pembedahan maka kita harus mempersiapkan pasien
untuk tindakan bedah antara lain
:
1.
Mempuasakan pasien untuk
mengistirahatkan saluran cerna.
2.
Pemasangan NGT untuk dekompresi
lambung.
3.
Pemasangan kateter untuk diagnostic
maupun monitoring urin.
4.
Pemberian terapi cairan melalui I.V.
5.
Pemberian antibiotic.
Terapi
bedah pada peritonitis antara lain :
1. Kontrol
sumber infeksi, dilakukan sesuai dengan sumber infeksi. Tipe dan luas dari
pembedahan tergantung dari proses dasar penyakit dan keparahan infeksinya.
2.
Pencucian ronga peritoneum:
dilakukan dengan debridement, suctioning,kain kassa, lavase, irigasi intra
operatif. Pencucian dilakukan untuk menghilangkan pus, darah, dan jaringan yang
nekrosis.
3.
Debridemen : mengambil jaringan yang
nekrosis, pus dan fibrin.
4.
Irigasi kontinyu pasca operasi.
Terapi
post operasi antara lain:
1. Pemberian
cairan I.V, dapat berupa air, cairan elektrolit, dan nutrisi.
2.
Pemberian antibiotic
3.
Oral-feeding, diberikan bila sudah
flatus, produk NGT
minimal, peristaltic usus pulih, dan tidak ada distensi abdomen.
1)
Terapi
Prinsip umum terapi adalah
penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang dilakukan secara intravena,
pemberian antibiotika yang sesuai, dekompresi saluran cerna dengan penghisapan
nasogastrik dan intestinal, pembuangan fokus septik (apendiks, dsb) atau
penyebab radang lainnya, bila mungkin mengalirkan nanah keluar dan
tindakan-tindakan menghilangkan nyeri.
Resusitasi hebat dengan larutan
saline isotonik adalah penting. Pengembalian volume intravaskular memperbaiki
perfusi jaringan dan pengantaran oksigen, nutrisi, dan mekanisme pertahanan.
Keluaran urine tekanan vena sentral, dan tekanan darah harus dipantau untuk menilai
keadekuatan resusitasi.
a).
Terapi antibiotika harus diberikan
sesegera diagnosis peritonitis bakteri dibuat. Antibiotik berspektrum luas
diberikan secara empirik, dan kemudian dirubah jenisnya setelah hasil kultur
keluar. Pilihan antibiotika didasarkan pada organisme mana yang dicurigai
menjadi penyebab. Antibiotika berspektrum luas juga merupakan tambahan drainase
bedah. Harus tersedia dosis yang cukup pada saat pembedahan, karena bakteremia
akan berkembang selama operasi.
b).
Pembuangan fokus septik atau penyebab
radang lain dilakukan dengan operasi laparotomi. Insisi yang dipilih adalah
insisi vertikal digaris tengah yang menghasilkan jalan masuk ke seluruh abdomen
dan mudah dibuka serta ditutup. Jika peritonitis terlokalisasi, insisi
ditujukan diatas tempat inflamasi. Tehnik operasi yang digunakan untuk
mengendalikan kontaminasi tergantung pada lokasi dan sifat patologis dari
saluran gastrointestinal. Pada umumnya, kontaminasi peritoneum yang terus
menerus dapat dicegah dengan menutup, mengeksklusi, atau mereseksi viskus yang
perforasi.
c).
Lavase peritoneum dilakukan pada
peritonitis yang difus, yaitu dengan menggunakan larutan kristaloid (saline).
Agar tidak terjadi penyebaran infeksi ketempat yang tidak terkontaminasi maka
dapat diberikan antibiotika ( misal sefalosporin ) atau antiseptik (misal
povidon iodine) pada cairan irigasi. Bila peritonitisnya terlokalisasi,
sebaiknya tidak dilakukan lavase peritoneum, karena tindakan ini akan dapat
menyebabkan bakteria menyebar ketempat lain.
d).
Drainase (pengaliran) pada
peritonitis umum tidak dianjurkan, karena pipa drain itu dengan segera akan
terisolasi/terpisah dari cavum peritoneum, dan dapat menjadi tempat masuk bagi
kontaminan eksogen. Drainase berguna pada keadaan dimana terjadi kontaminasi
yang terus-menerus (misal fistula) dan diindikasikan untuk peritonitis
terlokalisasi yang tidak dapat direseksi.
2)
Pembedahan
Biasanya yang pertama dilakukan
adalah pembedahan eksplorasi darurat, terutama bila terdapat apendisitis, ulkus
peptikum yang mengalami perforasi atau divertikulitis. Pada peradangan pankreas
(pankreatitis akut) atau penyakit radang panggul pada wanita, pembedahan
darurat biasanya tidak dilakukan. Diberikan antibiotik yang tepat, bila perlu
beberapa macam antibiotik diberikan bersamaan.
Keperawatan perioperatif merupakan
istilah yang digunakan untuk menggambarkan keragaman fungsi keperawatan yang
berkaitan dengan pengalaman pembedahan pasien yang mencakup tiga fase yaitu :
1. Fase
praoperatif dari peran keperawatan perioperatif
dimulai ketika keputusan untuk intervensi bedah dibuat dan berakhir ketika
pasien digiring kemeja operasi. Lingkup aktivitas keperawatan selama waktu
tersebut dapat mencakup penetapan pengkajian dasar pasien ditatanan kliniik
atau dirumah, menjalani wawancaran praoperatif dan menyiapkan pasien untuk
anastesi yang diberikan dan pembedahan. Bagaimanapun, aktivitas keperawatan
mungkin dibatasi hingga melakukan pengkajian pasien praoperatif ditempat ruang
operasi.
2. Fase
intraoperatif dari keperawatan perioperatif
dimulai dketika pasien masuk atau dipindah kebagian atau keruang pemulihan.
Pada fase ini lingkup aktivitas keperawatan dapat meliputi: memasang infuse
(IV), memberikan medikasi intravena, melakukan pemantauan fisiologis menyeluruh
sepanjang prosedur pembedahan dan menjaga keselamatan pasien. Pada beberapa
contoh, aktivitas keperawatan terbatas hanyapada menggenggam tangan pasien selama induksi
anastesia umum, bertindak dalam peranannya sebagai perawat scub, atau membantu
dalam mengatur posisi pasien diatas meja operasi dengan menggunakan
prinsip-prinsip dasar kesejajaran tubuh.
3. Fase
pascaoperatif dimulai dengan masuknya pasien
keruang pemulihan dan berakhir dengan evaluasi tindak lanjut pada
tatanan kliniik atau dirumah. Lingkup keperawatan mencakup rentang aktivitas
yang luas selama periode ini. Pada fase pascaoperatif langsung, focus terhadap
mengkaji efek dari agen anastesia dan memantau fungsi vital serta mencegah
komplikasi. Aktivitas keperawatan kemudian berfokus pada penyembuhan pasien dan
melakukan penyuluhan, perawatan tindak lanjut dan rujukan yang penting untuk
penyembuhan yang berhasil dan rehabilitasi diikuti dengan pemulangan. Setiap
fase ditelaah lebih detail lagi dalam unit ini. Kapan berkaitan dan
memungkinkan, proses keperawatan pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi
dan evaluasi diuraikan.
2. KONSEP DASAR KOLOSTOMI TRANSVERSAL (TRANSVERSOSTOMI)
2.1.
Definisi
Kolostomi transversum adalah
membuat ostomi di kolon transversum, dibentuk bila usus tersumbat oleh tumor.
(Harahap, 2006)
2.2.
Stoma
Perlengkapan ostomi terdiri
atas satu lapis atau dua lapis dengan barier kulit hipoalergenik untuk
mempertahankan integritas kulit peristomal. Kantong harus cukup besar untuk
menampung feses dan flatus dalam jumlah sedang tetapi tidak terlalu besar agar
tidak membebani bayi atau anak. Perlindungan kulit peristomal adalah aspek
penting dari perawatan stoma. Peralatan yang sesuai ukurannya merupakan hal
penting untuk mencegah kebocoran isi (Wong, 2009). Lokasi kolostomi menentukan
konsistensi tinja baik padat ataupun cair. Pada kolostomi transversum umumnya
menghasilkan feses lebih padat. Lokasi kolostomi ditentukan oleh masalah medis
pasien dan kondisi umum. Ada 3 jenis kolostomi, yaitu:
1).
Kolostomi loop atau loop
colostomy, biasanya dilakukan dalam keadaan darurat .
2).
End colostomy, terdiri dari satu
stoma dibentuk dari ujung proksimal usus dengan bagian distal saluran
pencernaan. End colostomy adalah hasil pengobatan bedah kanker kolorektal.
3).
Double-Barrel colostomy terdiri
dari dua stoma yang berbeda stoma bagian proksimal dan stoma bagian distal
(Perry & Potter, 2005).
2.3. Komplikasi
Insidens komplikasi untuk
pasien dengan kolostomi sedikit lebih tinggi dibandingkan pasien ileostomi.
Beberapa komplikasi umum adalah prolaps stoma, perforasi, retraksi stoma,
impaksi fekal dan iritasi kulit. Kebocoran dari sisi anastomotik dapat terjadi
bila sisa segmen usus mengalami sakit atau lemah. Kebocoran dari anastomotik
usus menyebabkan distensi abdomen dan kekakuan, peningkatan suhu, serta tanda
shock. Perbaikan pembedahan diperlukan (Brunner dan Suddarth, 2000).
2.4. Perawatan Kolostomi
Fungsi kolostomi akan mulai
tampak pada hari ke 3 sampai hari ke 6 pascaoperatif. Perawat menangani
kolostomi sampai pasien dapat mengambil alih perawatan ini. Perawatan kulit
harus diajarkan bersamaan dengan bagaimana menerapkan drainase kantung dan
melaksanakan irigasi. Menurut Brunner dan suddarth (2000), ada beberapa yang
harus diperhatikan dalam menangani kolostomi, antara lain :
1). Perawatan Kulit
Rabas efluen akan
bervariasi sesuai dengan tipe ostomi. Pada kolostomi transversal, terdapat
feses lunak dan berlendir yang mengiritasi kulit. Pasien dianjurkan melindungi
kulit peristoma dengan sering mencuci area tersebut menggunakan sabun ringan,
memberikan barrier kulit protektif di sekitar stoma, dan mengamankannya dengan
meletakan kantung drainase. Kulit dibersihkan dengan perlahan menggunakan sabun
ringan dan waslap lembab serta lembut. Adanya kelebihan barrier kulit
dibersihkan. Sabun bertindak sebagai agen abrasif ringan untuk mengangkat
residu enzim dari tetesan fekal. Selama kulit dibersihkan, kasa dapat digunakan
untuk menutupi stoma.
2). Memasang Kantung
Stoma diukur untuk
menentukan ukuran kantung yang tepat. Lubang kantung harus sekitar 0,3 cm lebih
besar dari stoma. Kulit dibersihkan terlebih dahulu. Barier kulit peristoma
dipasang. Kemudian kantung dipasang dengan cara membuka kertas perekat dan
menekanya di atas stoma. Iritasi kulit ringan memerlukan tebaran bedak
stomahesive sebelum kantung dilekatkan.
3). Mengangkat Alat Drainase
Alat drainase diganti bila
isinya telah mencapai sepertiga sampai seperempat bagian sehingga berat isinya
tidak menyebabkan kantung lepas dari diskus perekatnya dan keluar isinya.
Pasien dapat memilih posisi duduk atau berdiri yang nyaman dan dengan perlahan
mendorong kulit menjauh dari permukaan piringan sambil menarik kantung ke atas
dan menjauh dari stoma. Tekanan perlahan mencegah kulit dari trauma dan
mencegah adanya isi fekal yang tercecer keluar.
4). Mengirigasi Kolostomi
Tujuan pengirigasian
kolostomi adalah untuk mengosongkan kolon dari gas, mukus, dan feses. Sehingga
pasien dapat menjalankan aktivitas sosial dan bisnis tanpa rasa takut terjadi
drainase fekal. Dengan mengirigasi stoma pada waktu yang teratur, terdapat
sedikit gas dan retensi cairan pengirigasi.
3. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
3.1. PENGKAJIAN
a. Biodata
Nama, umur, alamat, agama, pendidikan, dll.
Nama, umur, alamat, agama, pendidikan, dll.
b. Riwayat kesehatan
Ø Keluhan
utama:
Keluhan
utama yang sering muncul adalah nyeri kesakitan di bagian perut sebelah kanan
dan menjalar ke pinggang.
Ø Riwayat
Penyakit Sekarang
Peritinotis
dapat terjadi pada seseorang dengan peradangan iskemia, peritoneal
diawali terkontaminasi material, sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus
eritematosus, dan sirosis hepatis dengan asites.
Ø Riwayat
Penyakit Dahulu
Seseorang dengan peritonotis pernah ruptur saluran cerna,
komplikasi post operasi, operasi yang tidak steril dan akibat pembedahan,
trauma pada kecelakaan seperti ruptur limpa dan ruptur hati.
Ø Riwayat
Penyakit Keluarga
Secara patologi peritonitis tidak diturunkan, namun jika
peritonitis ini disebabkan oleh bakterial primer, seperti: Tubercolosis. Maka
kemungkinan diturunkan ada.
c. Pemeriksaan fisik
·
Tanda
vital : kenaikan TD, nadi, suhu dan respirasi
·
Inspeksi
:
-
Kepala :
Keadaan rambut, mata, muka, hidung, mulut, telinga dan leher.
-
Abdomen:
biasanya terjadi pembesaran limfa,
-
Genetalia
: Tidak ada perubahan
·
Palpasi
abdomen : Teraba pembesaran limfa , perut kembung, nyeri
·
Auskultasi
: peristaltik usus menurun
·
Perkusi
abdomen : hipersonor
d. Pengkajian primer
Ø
Airway
Menilai
apakah jalan nafas pasien bebas. Adakah sumbatan jalan nafas berupa secret,
lidah jatuh atau benda asing.
Ø
Breathing
Kaji
pernafasan klien, berupa pola nafas, ritme, kedalaman, dan nilai berapa
frekuensi pernafasan klien per menitnya.
Ø
Circulation
Nilai
sirkulasi dan peredaran darah, kaji pengisian kapiler, kaji keseimbangan cairan
dan elektrolit klien, lebih lanjut kaji output dan intake klien.
Ø
Disability
Menilai
kesadaran dengan cepat dan akurat. Hanya respon terhadap nyeri atau sama sekali
tidak sadar. Tidak di anjurkan menggunakan GCS, adapun cara yang cukup jelas
dan cepat adalah :
A:
Awakening
V:
Respon Bicara
P:
Respon Nyeri
U: Tidak Ada Nyeri
Ø
Exposure
Lepaskan pakaian yang dikenakan dan penutup tubuh agar
dapat diketahui kelainan yang muncul, pada abdomen akan tampak distensi sebagai
akibat perubahan sirkulasi, penumpukan cairan dan udara yang tertahan dilumen.
e. Pola
Kesehatan
Pengkajian data dasar menurut Doengoes (2000),adalah :
1. Aktivitas /
istirahat
Data Subyektif
: Merasa lemah ,lelah, hilang keseimbangan.
Data Obyektif
: Perubahan Kesadaran ,masalah dalam keseimbangan cedera (trauma).
2. Sirkulasi
Data Obyektif
:Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi), Perubahan frekuensi jantung
(Bradikardi,takikardi).
3. Integritas ego
Data Subyektif
:Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis)
Data Obyektif
:Cemas , bingung ,depresi
4. Eliminasi
Data Subyektif
:Inkontenensia kandung kemih/usus atau mengalami gangguan fungsi.
5. Makanan dan
cairan
Data Subyektif
:Mual,muntah, dan mengalami perubahan selera makan
Data Obyektif
:Mengalami distensi abdomen
6. Neurosensori
Data Subyektif
:Kehilangan kesadaran sementara ,vertigo
Data Obyektif
:Perubahan kesadaran bisa sampai koma ,perubahan status mental (Orientasi ,
Kewaspadaan , Perhatian ,konsentrasi, pemecahan masalah ,pengaruh emosi
/tingkah laku dan memori),sangat sensitif terhadap sentuhan dan gerakan,
kehilangan sensasi sebagai tubuh, kesulitan dalam menentukan posisi tubuh.
7. Nyeri dan
Kenyamanan
Data Subyektif
:Sakit pada abdomen dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya lama.
Data Obyektif :Wajah
menyeringai, respon menarik pada rangsangan,nyeri yang hebat, gelisah ,tidak
bisa beristirahat,merintih.
8. Pernafasan
Data Subyektif
:Perubahan pola nafas.
9. Keamanan
Data Subyektif
:Trauma baru/trauma karena kecelakaan
Data Obyektif
:Fraktur/dislokasi, Gangguan kognitif, Gangguan rentang gerak, Demam ,gangguan
rentang dan regulasi suhu tubuh.
10. Interaksi
Sosial
Data Obyektif
:Gangguan motorik atau sensorik.
11. Penyuluhan
/Pembelajaran
Data Subyektif
:Membutuhkan bantuan dalam pengobatan aktivitas
perawatan
diri.
3.2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa
yang muncul pada pasien dengan kasus peritonitis berdasarkan rumusan diagnosa
keperawatan menurut NANDA (2006) antara
lain:
Pre Operasi
1. Nyeri akut berhubungan dengan
proses penyakit.
2. Ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual,muntah, anoreksia.
3. Hipertermi berhubungan dengan
proses peradangan.
4. Konstipasi berhubungan dengan
distensi abdomen.
5. Resiko infeksi berhubungan
dengan kemungkinan ruptur.
Post Operasi
1. Nyeri berhubungan dengan agen
cedera fisik
2. Resiko kekurangan volume
cairan berhubungan dengan asupan cairan yang tidak adekuat.
3. Resiko infeksi berhubungan
dengan prosedur invasif.
4. Intoleransi aktivitas
berhubungan dengan kelemahan fisik.
3.3. INTERVENSI KEPERAWATAN
Intervensi
menurut Mc.Closkey dalam Nursing Intervention Classsification (NIC), dan hasil yang
diharapkan menurut Johnson dalam Nursing Outcome Classification ( NOC) , antara
lain:
Pre Operasi
1. Dx I. Nyeri akut berhubungan
dengan proses penyakit.
Tujuan
: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri dapat berkurang atau
hilang.
NOC : Level nyeri, kriteria hasil:
1. Nyeri berkurang
2. Ekspresi nyeri lisan atau pada
wajah membaik
3. Kegelisahan atau ketegangan otot berkurang
4. Mempertahankan tingkat nyeri
pada skala 0-10.
5. Menunjukkan teknik relaksasi
yang efektif untuk mencapai kenyamanan.
NIC : Penatalaksanaan nyeri
1. Lakukan pengkajian nyeri,
secara komprhensif meliputi lokasi, keparahan, factor presipitasinya
2. Observasi ketidaknyamanan non
verbal
3. Gunakan pendekatan yang
positif terhadap pasien, hadir dekat pasien untuk memenuhi kebutuhan rasa
nyamannya dengan cara: masase, perubahan posisi, berikan perawatan yang tidak
terburu-buru
4. Kendalikan factor lingkungan
yang dapat mempengaruhi respon pasien terhadap ketidaknyamanan
5. Anjurkan pasien untuk
istirahat
6. Libatkan keluarga dalam
pengendalian nyeri pada anak.
7. Kolaborasi medis dalam
pemberian analgesic.
2. Dx II. Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual,muntah, anoreksia.
Tujuan
: Setelah dilakukan tindakan keperawatan
diharapkan nutrisi pasien adekuat.
NOC :
Status Gizi, kriteria hasil:
1. Mempertahankan berat badan.
2. Toleransi terhadap diet yang
dianjurkan.
3. Menunjukan tingkat keadekuatan
tingkat energi.
4. Turgor kulit baik.
NIC :
Pengelolaan Nutrisi
1. Tentukan kemampuan pasien
untuk memenuhi kebutuhan nutrisi.
2. Pantau kandungan nutrisi dan
kalori pada catatan asupan.
3. Berikan informasi yang tepat
tentang kebutuhan nutrisi dan bagaimana memenuhinya.
4. Minimalkan faktor yang dapat
menimbulkan mual dan muntah.
5. Pertahankan higiene mulut
sebelum dan sesudah makan.
3. Dx III. Hipertermi berhubungan dengan proses
peradangan.
Tujuan
: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan suhu tubuh kembali normal
370 C
NOC : Thermoregulation,kriteria hasil:
1. Suhu kulit dalam rentang yang
diharapkan
2. Suhu tubuh dalam batas normal
3. Nadi dan pernapasan dalam
rentang yang diharapkan
4. Perubahan warna kulit tidak
ada
NIC : Fever Treatment
1. Pantau suhu minimal setiap dua
jam, sesuai dengan kebutuhan
2. Pantau warna kulit dan suhu
3. Lepaskan pakaian yang
berlebihan dan tutupi pasien dengan hanya selembar pakaian.
4. Berikan cairan intravena
4. Dx IV. Konstipasi berhubungan dengan pola makan yang
buruk.
Tujuan
: Setelah dilakukan tindakan keperawatan
diharapkan konstipasi teratasi.
NOC : Eliminasi defekasi, kriteria hasil:
1. Pola eliminasi dalam rentang
yang diharapkan
2. Mengeluarkan feses tanpa
bantuan.
3. Mengingesti cairan dan serat
dengan adekuat.
NIC :
Penatalaksanaan defekasi
1. Pantau pergerakan defekasi
meliputi frekuensi, konsistensi,bentuk, volume, dan warna yang tepat.
2. Perhatikan masalah defekasi
yang telah ada sebelumnya, rutinitas defekasi dan penggunaan laksatif.
3. Instruksikan pada pasien dan
keluarga tentang diet, asupan cairan,aktivitas dan latihan.
4. Awali konferensi keperawatan
dengan melibatkan pasien dan keluarga untuk mendorong perilaku positif yaitu
perubahan diet.
5. Beri umpan balik positif untuk
pasien saat terjadi perubahan tingkah laku.
5. Dx V. Resiko infeksi
berhubungan dengan kemungkinan ruptur.
Tujuan
: Setelah dilakukan tindakan keperawatan
diharapkan pasien bebas dari gejala peritonitis.
NOC :
Pengendalian Resiko, kriteria hasil:
1. Terbebas dari tanda dan gejala
peritonitis.
2. Mengindikasikan status
gastrointestinal, pernafasan,genitourinaria, dan imun dalam batas normal.
3. Menunjukan gejala dan tanda
infeksi dan mengikuti prosedur dan pemantauan.
NIC : Pengendalian Infeksi
1. Pantau TTV dengan ketat,
khususnya adanya peningkatan frekuensi jantung dan suhu serta pernafasan yang
cepat dan dangkal untuk mendeteksi rupturnya apendiks.
2. Observasi adanya tanda-tanda
lain peritonitis ( misal hilangnya nyeri secara tiba-tiba pada saat terjadi
perforasi diikuti dengan peningkatan nyeri yang menyebar dan kaku abdomen,
distensi abdomen, kembung, sendawa karena akumulasi udara, pucat, menggigil,
peka rangsang untuk menentukan tindakan yang tepat.
3. Hindari pemberian
laksatif,karena dapat merangsang motilitas usus dan meningkatkan resiko
perforasi.
4. Pantau jumlah SDP sebagai
indikator infeksi.
5. Lindungi pasien dari
kontaminasi silang.
Post Operasi
1. Dx. I. Nyeri berhubungan
dengan agen cedera fisik.
Tujuan
: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri dapat berkurang atau
hilang.
NOC : Level nyeri, kriteria hasil:
1. Nyeri berkurang
2. Ekspresi nyeri lisan atau pada
wajah
3. Mempertahankan tingkat nyeri
pada skala 0-10.
4. Menunjukkan teknik relaksasi
yang efektif untuk mencapai kenyamanan.
NIC: Penatalaksanaan nyeri
1. Lakukan pengkajian nyeri,
secara komprhensif meliputi lokasi, keparahan.
2. Observasi ketidaknyamanan non
verbal
3. Gunakan pendekatan yang
positif terhadap pasien, hadir dekat pasien untuk memenuhi kebutuhan rasa
nyamannya dengan cara: masase, perubahan posisi, berikan perawatan yang tidak
terburu-buru
4. Kendalikan factor lingkungan
yang dapat mempengaruhi respon pasien terhadap ketidaknyamanan
5. Anjurkan pasien untuk
istirahat dan menggunakan tenkik relaksai saat nyeri.
6. Kolaborasi medis dalam
pemberian analgesic.
2. Dx II. Resiko kekurangan
volume cairan berhubungan dengan asupan cairan yang tidak adekuat.
Tujuan
: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan keseimbangan cairan pasien
normal dan dapat mempertahankan hidrasi yang adekuat.
NOC : Fluid balance, kriteria hasil:
1. Mempertahankan urine output
sesuai dengan usia dan BB, BJ urine normal, HT normal
2. Tekanan darah, nadi, suhu
tubuh dalam batas normal
3. Tidak ada tanda-tanda
dehidrasi, elastisitas, turgor kulit, membran mukosa lembab,
4. Tidak ada rasa haus yang
berlebihan
NIC : Fluid Management
1. Pertahankan catatan intake dan
output yang akurat
2. Monitor vital sign dan status
hidrasi
3. Monitor status nutrisi
4. Awasi nilai laboratorium,
seperti Hb/Ht, Na+ albumin dan waktu pembekuan.
5. Kolaborasikan pemberian cairan
intravena sesuai terapi.
6. Atur kemungkinan transfusi
darah.
3. Dx. III. Resiko infeksi
berhubungan dengan prosedur invasif.
Tujuan:
Setelah dilakuakan tindakan keperawatan diharapkan tidak terjadi infeksi pada
luka bedah.
NOC : Pengendalian Resiko, kriteria hasil:
1. Bebas dari tanda dan gejala
infeksi.
2. Higiene pribadi yang adekuat.
3. Mengikuti prosedur dan
pemantauan.
NIC: Pengendalian Infeksi
1. Pantau tanda dan gejala
infeksi( suhu, denyut jantung, penampilan luka).
2. Amati penampilan praktek
higiene pribadi untuk perlindungan terhadap infeksi.
3. Instruksikan untuk menjaga
higiene pribadi untuk melindungi tubuh terhadap infeksi.
4. Lindungi pasien terhadap
kontaminasi silang dengan pemakaian set ganti balut yang steril.
5. Bersihkan lingkungan dengan
benar setelah.
4. Dx. IV. Intoleransi aktivitas
berhubungan dengan kelemahan fisik.
Tujuan
: Setelah dilakukan tindakan diharapkan pasien dapat beraktivitas tanpa
mengalami kelemahan.
NOC : Konservasi energi, kriteria hasil:
1. Berpartisipasi dalam aktivitas
fisik tanpa disertai peningkatan tekanan darah, nadi, dan RR
2. Mampu melakukan aktivitas
secara mandiri.
NIC : Management Energi
1. Tirah baring pada pasien dan
bantu segala aktivitas sehari-hari, atur periode istirahat dan aktivitas
2. Monitor terhadap tingkat
kemampuan aktivitas, hindari aktivitas yang berlebihan
3. Tingkatkan aktivitas sesuai
dengan toleransi
4. Monitor kadar enzim serum
untuk mengkaji kemampuan aktivitas
5. Monitor tanda-tanda vital dan
atur perubahan posisi.
6. Monitor nutrisi dan sumber
energi yang adekuat.
DAFTAR
PUSTAKA
Andra. 2007. Peritonitis Pedih dan
Sulit Diobati. www.majalah-farmacia.com. 2 Desember 2007.
Brunner / Sudart. Texbook of Medical
Surgical Nursing Fifth edition IB. Lippincott Company. Philadelphia. 1984.
Doenges, Marilynn E. et all. 1999.
Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian
Perawatan Pasien. Jakarta : EGC.
Johnson, Marion et all. 2000. Iowa
Intervention Project Nursing Outcomes Classification (NOC). St. Louis : Mosby
Inc.
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta
Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius.
McCloskey,
Joanne C. dan Gloria M. Bulechek. 1996. Iowa Intervention Project Nursing
Interventions Classification (NIC). St. Louis : Mosby - Year Book Inc.
Potter dan Perry. 1999. Fundamental
Keperawatan Edisi 4 Vol 2. Buku Kedokteran. Jakarta : ECG.
Santosa, Budi. 2005. Panduan Diagnosa
Keperawatan Nanda. Jakarta: Prima Medika.
Soeparman, dkk. 1987. Ilmu Penyakit Dalam
Edisi II. Jakarta : Balai Penerbit FKUI
Komentar
Posting Komentar